'Pembangunan tak Boleh Berhenti karena Deforestasi'
Rep: Febryan. A/ Red: Ratna Puspita
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya | Foto: Kementerian LHK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan bukan berarti menghentikan penebangan pohon (deforestasi) sepenuhnya. Sebab, Indonesia masih melakukan pembangunan sehingga pembabatan hutan tak dapat dielakkan.
“Pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” kata Siti saat berbicara di hadapan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11).
Siti menjelaskan, Indonesia memang menargetkan netralitas karbon dari sektor kehutanan pada 2030. Jika memungkinkan, pada tahun tersebut, sektor kehutanan bisa menjadi negatif emisi atau terjadi penyerapan karbon.
Program pengurangan emisi sektor kehutanan ini dinamakan FoLU Net Carbon Sink 2030. Namun, dia mengatakan, FoLU Net Carbon Sink bukan berarti zero deforestation.
Salah satu bentuk kegiatan FoLU Net Carbon Sink memang pengurangan laju deforestasi, tapi bukan berarti menghentikan deforestasi sepenuhnya. Sebab, kata Siti, Indonesia masih melakukan pembangunan sehingga pembabatan hutan pasti terjadi.
Ia pun memberikan contoh dengan kondisi masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Di sana, masih banyak jalan yang terputus karena hutan rimba. Padahal, di sana terdapat lebih dari 34 ribu desa yang berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
“Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” kata Siti sebagaimana dikutip dari siaran persnya yang diterima di Jakarta, Rabu (3/11).
Dia mengatakan, penghentian pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945, yakni membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi. Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan dan berkeadilan.
Untuk itu, dia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain. Sebab, ada perbedaan cara hidup dan juga tingkat pembangunan.
“Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,” kata dia.
Begitu juga terkait tingkat kemajuan suatu negara. Situ mengatakan, negara-negara maju
sudah selesai membangun sejak 1979-an. Selepas dari tahun itu, mereka sudah pada tahap menikmati hasil pembangunan sehingga wajar mereka bisa menghentikan deforestasi dan menargetkan nol-bersih emisi pada 2050.
“Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,” kata Menteri Siti.