REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya motif politik dalam penyelidikan dugaan pidana rasuah penyelenggaraan Formula E. Lembaga anti korupsi itu menegaskan bahwa penyelidikan perkara dilakukan berdasarkan ukuran hukum.
"Kalo ditanya berpolitik, apapun yang dilaporkan ke KPK pasti motifnya macam-macam, baik motif ekonomi, politik dan sebagainya pasti ada motifnya. Tapi kami memfilternya dengan ukuran hukum, kalau memenuhi ukuran hukum kami tindaklanjuti," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Jakarta, Selasa (16/11).
Ghufron menjelaskan, KPK merupakan penegak hukum dengan prosedur maupun ketentuan dan syarat berstandar hukum. Dia melanjutkan, setiap laporan yang masuk kek KPK akan tindaklanjuti sesuai dengan prosedur yang ditentukan.
"Apa saja? pertama kami terima, kami kaji, kami telaah lebih lanjut apakah laporan tersebut merupakan patut diduga sebagai dugaan tindak pidana korupsi," katanya.
Dia melanjutkan, kalau diduga tindak pidana korupsi maka kemudian ditentukan apakah sesuai kewenangan KPK sesuai dengan pasal 11 yaitu penegak hukum, penyelenggara negara atau kerugiannya di atas Rp 1 miliar. Dia meneruskan, KPK akan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan sesuai prosedur hukum kalau berdasarkan telaah ditemukan tindak pidana.
KPK memang tengah menyelidiki dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E di DKI Jakarta. Lembaga antirasuah itu mengaku telah meminta meminta keterangan dan klarifikasi sejumlah pihak terkait dugaan korupsi dimaksud.
Ketua KPK Firli Bahuri sebelumnya menegaskan bahwa KPK akan menindak tegas siapapun pelaku korupsi termasuk dalam dugaan perkara rasuah ajang balap Formula E. Komisaris Jendral polisi itu mengaku tidak akan pandang bulu terhadap siapapun pelaku korupsi dan akan bekerja profesional sesuai kecukupan bukti.
"Prinsipnya, kami sungguh mendengar harapan rakyat bahwa indonesia harus bersih dari korupsi. KPK tidak akan pernah lelah untuk memberantas korupsi," katanya.
Namun, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyarankan KPK menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ajang balap mobil listrik atau Formula E di DKI Jakarta. "Hal yang standar adalah dugaan pidanannya sudah harus ada, bukan baru dicari-cari. Jadi, setiap tindakan penyelidikan itu diawali dengan asumsi pidananya sudah ada," kata Margarito.
Menurut Margarito, hal yang keliru sejak awal sudah menyalahi prosedur paling dasar dalam penentuan dugaan pidana. "Kalau menyelidiki sesuatu peristiwa hukum, di kepala Anda peristiwa itu harus sudah memiliki aspek pidana, tinggal memperoleh bukti-bukti untuk menguatkan bahwa itu peristiwa pidana. Bukan mencari-cari bukti untuk menemukan bahwa itu peristiwa pidana, jadi ini cara berpikir KPK amat terbalik, ini sangat salah," kata Margarito menjelaskan.
Terkait dengan pemberian commitment fee dan penundaan dua tahun penyelenggaraan Formula E, menurut dia, bukan karena hal yang dalam kendali manusia karena dua tahun terakhir terjadi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. "Karena hal yang menggagalkan peristiwa itu (Formula E) bukan hal yang disebabkan oleh manusia, melainkan sebab alamiah yang enggak bisa diprediksi secara objektif. Akibat hukumnya adalah siapa pun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum," ungkap Margarito.
Terkait dengan dana pinjaman bank yang digunakan, lanjut Margarito, apa pun pinjaman tersebut akan membebani APBD. Apabila memang terjadi penyalahgunaan, sistem keuangan daerah memiliki hak untuk menuntut ganti rugi kepada penyelenggara. "Itu juga harus didasari oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan," ujar Margarito.
Dengan kondisi demikian, Margarito menyarankan KPK untuk menghentikan pengusutan Formula E karena akan memengaruhi asumsi publik ke KPK. Publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu.