Senin 29 Nov 2021 10:00 WIB

Teladan Abu Hatim Ar Razi Menuntut Ilmu

Kecintaan terhadap ilmu Imam Abu Hatim Ar-Razi patut diteladani.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
 Teladan Abu Hatim Ar Razi Menuntut Ilmu. Foto: Memberi nasihat merupakan anjuran agama (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Teladan Abu Hatim Ar Razi Menuntut Ilmu. Foto: Memberi nasihat merupakan anjuran agama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kecintaan terhadap ilmu Imam Abu Hatim Ar-Razi patut diteladani. Dia kalau sudah belajar sampai lupa memanjakan badannya dengan makan-makanan yang berkuah.

Imam Abu Hatim Ar-Razi bercerita, suatu saat ia bersama rekannya berada di Mesir selama tujuh bulan tanpa makan-makanan berkuah.

Baca Juga

"Karena kami sibuk belajar sehingga kami tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah," tulis Muhammad Yasir dalam bukunya 'Berjalan Jauah Mencari Ilmu'.

Ia menceritakan, siang hari ia sibuk mendatangi para guru untuk belajar sedangkan di malam harinya ia menyalin serta mempelajari kembali ilmu yang sudah dia dapat.

Pada suatu hari Abu Hatim dan sahabatnya mendatangi seorang Syekh. Ketika hampir sampai mereka mendapat kabar bahwa Syekh itu sedang sakit.

"Kemudian ia pulang dan melewati sebuah pasar," katanya.

Di sana Abu Hatim tertarik dengan ikan yang sedang dijajakan para penjual, dan mereka pun memutuskan untuk membelinya. Sesampainya di rumah ternyata waktu belajar di majelis ilmu untuk Syekh yang lain sudah tiba.

Sehingga, mereka langsung menuju ke sana dan meninggalkan ikan itu dengan harapan bisa memasaknya di lain waktu tetapi hingga tiga hari kemudian, ikan itu belum dimasak dan hampir busuk.

"Kami tidak sempat memasaknya karena kesibukan menuntut ilmu," katanya.

Lalu, ikan itu mereka makan dalam keadaan mentah karena tidak punya waktu untuk menggoreng. "Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai." kata Abu Hatim.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement