REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Retno Ponco Windarti mengatakan, BI akan akan memberikan sanksi penyedia jasa pembayaran (PJP) dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran (PIP) yang teledor dalam melakukan kewajibannya. Hal itu membuat keamanan digital menjadi salah satu faktor yang perlu diutamakan dalam industri jasa keuangan.
"Kami bisa memberikan sanksi kalau memang pada level-level tertentu kejadian tersebut terjadi karena keteledoran dan tidak memenuhi ketentuan yang ada," ucap Retno dalam webinar Digital Economic in Collaboration: The Importance of Cyber Security To Protect Financial Sector in The New Age yang diselenggarakan The Finance, Senin (29/11).
Ia mengungkapkan, dampak dari kebocoran data cukup fatal dan harus dibereskan secepat mungkin. Jika terjadi, BI memberikan waktu maksimal satu jam dari kejadian bagi PJP untuk melapor. "Lalu, kita lakukan pembahasan, audit untuk mencari apa penyebab sebenarnya," kata dia.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha menghimbau PJP dan PIP semakin hati-hati. Sebab, RUU Perlindungan Data Pribadi memuat hukuman bagi penyelenggara sistem jasa keuangan yang teledor dalam menjaga data nasabah.
Ia mengatakan, aturan ini akan menyasar setiap penyelenggara pembayaran sistem elektronik baik pemerintah maupun swasta tanpa pandang bulu. Maka demikian, keamanan data nasabah akan semakin meningkat nantinya.
Saat ini, Pratama mengakui memang belum ada aturan yang menghukum kasus kebocoran data PJP dan PIP. Dia menilai, selama aturan ini masih dikaji, setiap institusi jasa keuangan harus hati-hati dan tetap mengutamakan keamanan data di platform digital masing-masing.
"Kadang kita ini masih beranggapan bahwa membuat sistem yang kompleks, digital, dan mahal sudah oke. Tapi ketika sistem keamanan tidak dimaksimalkan, akhirnya terjadilah peretasan. Bank dan asuransi ini harus hati-hati," ucap Pratama.