Rabu 01 Dec 2021 16:52 WIB

Pekerjaan yang Digantikan Robot, Haruskah Manusia Khawatir?

Melebur dengan kemajuan teknologi seperti robot tidak dapat dihindari.

Transformasi digital membuat sejumlah kegiatan manusia bisa digantikan oleh robot. Seperti lakon wayang yang digerakkan menggunakan program robot seperti tampak di acara Taobao Maker Festival yang dihelat oleh Alibaba Group di Hangzhou, China, tahun 2019.
Foto: Republika/Indira Rezkisari
Transformasi digital membuat sejumlah kegiatan manusia bisa digantikan oleh robot. Seperti lakon wayang yang digerakkan menggunakan program robot seperti tampak di acara Taobao Maker Festival yang dihelat oleh Alibaba Group di Hangzhou, China, tahun 2019.

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Kemajuan teknologi mengingatkan manusia untuk terus meng-upgrade diri. Tanpanya bukan tidak mungkin sejumlah pekerjaan yang dulu dilakukan manusia akan digantikan teknologi, teknologi robot misalnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah beberapa kali mengatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Eselon III dan IV akan diganti dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Tujuan Presiden melalukan itu adalah untuk mempercepat birokrasi. Misi itu ternyata sudah mulai diwujudkan.

Baca Juga

Transformasi digital tersebut dalam bayangan saya mungkin akan terjadi pada bidang-bidang pelayanan publik. Misalnya, pengurusan kartu keluarga di kelurahan, perpanjangan paspor, atau pengurusan pembayaran pajak dan lainnya.

Itu bayangan saya, ya. Pastinya sektor-sektor apa yang akan digantikan oleh teknologi atau robot masih belum ada kejelasan dari pemerintah.

Upaya transformasi digital birokrasi sudah terlihat dari jumlah PNS yang terus menurun. Mengutip buku statistik ASN per Juni 2021, jumlah PNS aktif tahun ini sebanyak 4.081.824 orang. Turun drastis jika dibandingkan tahun 2015 silam, yakni 4.593.604 orang.

Penurunan terjadi karena jumlah rekrutmen PNS lebih kecil dibanding jumlah abdi negara yang pensiun setiap tahunnya. Adapun posisi atau jabatan yang kosong digantikan dengan penggunaan teknologi informasi (TI) dan digitalisasi pelayanan publik.

photo
Kasir digital di sebuah toko di Alibaba Mall di Hangzhou China. Pembeli di toko harus memindai barang yang dibelinya di alat kasir digital dan melakukan pembayaran pula secara digital. Transformasi digital membuat toko di Alibaba Mall tidak memiliki petugas penjaga kasir. - (Republika/Indira Rezkisari)

Ketika saya sebagai jurnalis Republika diundang ke Hangzhou China dua tahun lalu ke kantor pusat perusahaan teknologi Alibaba Group saya merasakan betul beberapa peran pekerja yang digantikan robot atau kecerdasan buatan. Mulai dari barista robot, kasir dengan teknologi AI, atau check in di hotel yang lobinya sudah tidak memiliki resepsionis manusia lagi.

Saat diajak mengunjungi hotel milik Alibaba yang berteknologi digital itu, alias check in dilakukan secara digital, pengiriman barang ke kamar hotel dilakukan oleh robot, dan sistem kunci kamar yang menggunakan teknologi retina, saya diberi tahu oleh perwakilan Alibaba Indonesia maksud di balik berdirinya hotel tersebut. Katanya begini, Alibaba tidak berkeinginan terjun ke bisnis hotel. Alibaba namun harus menguasai teknologi di baliknya.

Ibaratnya, teknologi adalah bagian dari masa depan. Sehingga sebagai perusahaan Alibaba harus menceburkan diri ke dalamnya.

Transformasi digital di Indonesia sebenarnya sudah lebih dulu terjadi di perusahaan swasta atau BUMN. Di sektor perbankan misalnya, transformasi digital mengakibatkan jumlah kantor cabang terus menurun jumlahnya. Dari tahun 2017 hingga 2021, sebanyak 2.593 kantor cabang bank ditutup. Model bisnis tradisional perbankan pun terus dikaji seiring perkembangan teknologi.

Pandemi apalagi meningkatkan transaksi mobile banking dan internet banking. Kenaikannya dari tahun 2016 hingga Agustus 2021 tercatat sebanyak 300 persen. Transaksi uang elektronik pun akibatnya turut meningkat. Di rahun 2020 saja, data OJK, mencatat kenaikan transaksi uang elektronik naik 4.000 persen.

Perubahan apapun pada dasarnya memang menakutkan bagi manusia. Terutama bagi kelompok yang terancam keberadaannya. Tapi transformasi digital adalah sebuah keharusan bagi sebuah Negara. Jangan sampai Indonesia ketinggalan zaman karena tidak pernah merengkuh aspek tersebut.

Transformasi digital juga tidak berarti manusia harus kehilangan pekerjaannya. Manusianya juga harus turut bertransformasi, mengasah skill yang dimilikinya.

We’ve always done it that way.” Jangan sampai tergerus zaman hanya karena tidak bersedia untuk berubah.

photo
Barista robot, berwarna putih di belakang, di sebuah kafe di kawasan kampus Alibaba di Hangzhou China. Barista robot bisa mengerjakan racikan minum apapun yang tersedia dalam menu. - (Republika/Indira Rezkisari)

Saat saya duduk di sebuah kafe di Hangzhou dan terpana melihat sebuah robot sedang meracik minuman dingin, saya tidak melihatnya sebagai upaya mengurangi pekerjaan manusia. Saya justru melihatnya sebagai bagian dari kemajuan zaman saja. Saat itu tidak semua detail peracikan minuman bisa dikerjakan sang robot. Ada sentuhan akhir tertentu yang tetap membutuhkan tangan manusia.

Tapi itu hanya urusan waktu saja. Ke depan saya yakin akan makin banyak robot yang makin mahir bekerja dan makin pandai melakukan pekerjaan halus bak tangan manusia.

Sekarang saja pekerjaan menyapu dan mengepel di banyak rumah sudah digantikan oleh robot cerdas. Mengapa? Alasannya banyak, mulai dari faktor kepraktisan hingga sulitnya mencari asisten rumah tangga untuk membantu menyapu dan mengepel.

Karena itu manusia harus lebih cerdas. Mau belajar. Mau bertransformasi pula supaya bisa lebih unggul dari robot. Karena sejatinya robot dan teknologi diciptakan untuk membantu memudahkan kehidupan manusia.

*Penulis adalah jurnalis Republika

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement