REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Anggoro Pramudya
Publik Old Trafford jelas kadung simpatik dengan nama Ralf Rangnick, bahkan mereka tidak sabar menanti sentuhan midas dari tangan dingin 'Sang Guru', yang dikenal begitu ambisius dalam mengendapkan filosofi sepak bola menekan 'pressing'.
Boleh diakui Curriculum Vitae (CV) Rangnick tak sementereng Carlo Ancelotti, Josep Guardiola, Marcello Lippi, pun Juergen Klopp. Adapun nama terakhir kerap lengket dengan pria kelahiran Backnang negara bagian Baden-Wurttemberg, Jerman, Ralf Rangnick.
Klopp dan sederet pelatih beken asal Jerman seperti Thomas Tuchel, Roger Schmidt, dan Julian Nagelsmann diklaim merupakan anak didik dari pelatih interim Manchester United (MU) saat ini, Rangnick.
Status tersebut setidaknya membuat para penggemar MU boleh kembali membusungkan dada mereka sekaligus buka suara dalam ruang diskusi para fan sepak bola Negeri Ratu Elizabeth.
Pasalnya, fan Setan Merah mengeklaim permainan usang dari Louis van Gaal, David Moyes, Jose Mourinho dan formasi 'miskin taktik' ala Ole Gunnar Solskjaer diklaim tidak akan kembali terlihat di atas lapangan.
Paket datang dengan pasang dan surut. Surut seperti bertandang ke markas tim kasta ketiga Liga Inggris Milton Keynes (MK) Dons dengan kekalahan 0-4 pada ajang Piala Liga Inggris 2014 silam.
Pun kekalahan menyakitkan oleh dua rival terbesar Liverpool dan Man City di Liga Primer 2021/2022, serta dipermalukan Watford 1-4 pada pekan ke-12 yang membuat Solskjaer angkat kaki dari Old Trafford.
Sepakat atau tidak, sepeninggalan Sir Alex Ferguson MU layaknya seperti kuda limbung yang disorientasi mana garis finis arena pacu dan mana lorong menuju ruang istirahat.
Akan tetapi kini MU diklaim sudah menemukan titik terang dari periode gelap, era baru yang di mana para fan dan manajemen klub mempercayai tongkat estafet kebangkitan Setan Merah kepada sosok pria jenius asal Tembok Berlin.
Mantan presiden Bayern Muenchen, Michael Reschke menyebut Rangnick merupakan sosok yang paling banyak mengubah sepak bola Jerman dalam 20 tahun terakhir. Bergabung dengan klub elit dunia sekelas MU merupakan tantangan besar bagi pria berusia 63 tahun itu.
Sebelum melatih Manchester United, Rangnick menangani Stuttgart, Hannover, FC Schalke, Hoffenheim, dan RB Leipzig. Selain menjadi pelatih Rangnick juga dapat berperan sebagai Direktur Teknik atau Olahraga dengan talentanya mengembangkan pemain-pemain muda.
Melatih MU memang menjadi catatan kaki yang paling mentereng dalam karier profesional Rangnick. Sejauh ini pria berkacamata yang mengaku mengidolakan legenda Nottingham Forest, Garry Birtles itu tak pernah menetap di klub top dunia.
Tanpa mengurangi rasa hormat bagi sang pencetus 'gegenpressing', reputasi Rangnick sebelumnya memang dianggap sebelah mata oleh beberapa calon peminat seperti kegagalan menangani timnas Inggris pada 2016 lalu dan nyaris bergabung dengan AC Milan pada 2020.
Keputusan tim Italia, Milan untuk membatalkan kontrak dengan Rangnick sebagai pengganti Stefano Pioli pada 2019/2020 dilatarbelakangi oleh komentar pria yang menyukai tim Brighton and Hove Albion tersebut.
Pihak Milan geram dengan pernyataan Rangnick dalam wawancara dengan media-media sepak bola Jerman soal pendekatan i Rossoneri denganya, pun posisinya sebagai penentu pembelian dan penjualan pemain mengasapi jabatan direktur olahraga Paolo Maldini.
"Saya punya beberapa saran untuknya, sebelum belajar bahasa Italia Rangnick harus meninjau kembali konsep tentang rasa hormat," kata Maldini beberapa waktu lalu terkait kritiknya kepada Rangnick.
Dalam kompetisi di negara sendiri, Jerman, Rangnick bahkan tidak dilirik tim sebesar Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund. Dirinya justru terkenal karena membangun kesebelasan yang terjerembab untuk menjelma jadi tim disegani. Contoh tersebut diperlihatkan kala ia membesut RB Leipzig.
Sementara itu pundit kenamaan Inggris, Paul Merson menilai kedatangan Rangnick membuat para penggemar MU semringah meski pada kenyataannya kualitas Rangnick masih patut diuji.
"Saya mendengar ia pelatih yang hebat, tetapi mengapa dia tak pernah melatih tim top dunia? Berada di Hoffenheim dan Schalke jelas berbeda ketika Anda diminta menangani tim besar dunia yang memiliki segudang superstar," kata Merson kepada Sky Sports.
Rangnick merajut kesuksesan di klub yang notabennya tidak memiliki tradisi dan filosofi permainan sepak bola. Ketika ia diberikan wewenang yang besar bersama Hoffenheim pun RB Leipzig ia secara perlahan mampu menerapkan identitas permainan klub.
Namun berada di klub pemilik 20 titel Liga Primer Inggris dan tiga Liga Champions, Rangnick harus melebur dan terbiasa berkompromi dengan pemain bintang untuk terhindar dari keretakan dalam ruang ganti pemain.