Selasa 07 Dec 2021 11:08 WIB

Ironi Melambungnya Harga Minyak Goreng di Negeri Kaya Sawit

Muncul wacana kebijakan DMO CPO harga khusus untuk stabilkan harga minyak goreng.

Masyarakat mengeluhkan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Foto pedagang gorengan. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Masyarakat mengeluhkan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Foto pedagang gorengan. (ilustrasi)

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Komoditas minyak goreng kembali bikin kepala para ibu rumah tangga, pedagang gorengan hingga pelaku UMKM, pening. Jika tiga bulan lalu konsumen masih bisa menemukan minyak goreng kemasan dua liter dengan harga di bawah Rp 25 ribu, kini paling murah dibandrol seharga Rp 31.500. Itupun merupakan harga promo sesaat dengan jumlah pembelian yang dibatasi.

Saat ini harga normal minyak goreng kemasan dua liter yang dipatok oleh pedagang di pasar tradisional maupun gerai ritel modern di atas Rp 37 ribu. Kondisi yang sama juga terjadi pada harga minyak goreng curah yang semula di kisaran Rp 14 ribu per liter, saat ini sudah mencapai Rp 20 ribu per liter.

Menurut Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), harga minyak goreng memang mengalami fluktuasi sejak Maret lalu. "Tapi memang kali ini relatif bahaya, karena akumulasi kenaikannya cukup tinggi," jelas Ketua Ikappi Abdullah Mansuri kepada Republika.co.id akhir Oktober lalu.

Maka tak mengherankan jika kenaikan harga minyak goreng ini ikut mengerek laju inflasi nasional sepanjang November lalu. Bahkan, laju inflasi selama November tercatat sebagai yang tertinggi sejak awal tahun ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat minyak goreng menyumbang inflasi sebesar 0,08 persen. Selanjutnya diikuti telur ayam ras dan cabai merah 0,06 persen dan daging ayam ras 0,02 persen.

Melambungnya harga minyak goreng di dalam negeri sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Untuk menstabilkan harga minyak goreng, selain melakukan operasi pasar, pemerintah juga menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) atau kewajiban untuk memasok kebutuhan domestik hingga menaikkan besaran pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO). Dua kebijakan terakhir pernah dijalankan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam menyikap kenaikan kali ini, pemerintah baru sebatas melakukan operasi pasar dengan mengguyur pasar dengan 11 juta liter minyak goreng berharga khusus, yakni Rp 14 ribu per liter. Minyak goreng berharga khusus ini disuplai ke 45 ribu ritel di seluruh Indonesia.

Sayangnya, kenaikan harga minyak goreng di luar kewajaran ini kerap terulang. Kondisi ini sungguh ironis mengingat Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar dunia. Sawit merupakan bahan baku utama pembuatan minyak goreng.

Menanggapi lonjakan harga minyak goreng, produsen sawit di dalam negeri memberi alasan bahwa saat ini harga komoditas sawit di pasaran juga tinggi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai sepanjang tahun ini industri sawit menikmati kinerja positif. Harga CPO mencatat rekor, mencapai di atas 1.000 dolar AS per metrik ton (MT).

Kenaikan harga itu juga didorong oleh peningkatan permintaan secara global terhadap minyak sawit. Lonjakan permintaan CPO ini terjadi seiring krisis energi di sejumlah negara. Bahan bakar biodiesel yang menggunakan minyak sawit sebagai komponen bahan baku telah menjadi energi alternatif untuk mengatasi krisis energi saat ini.

Di dalam negeri, pasokan CPO tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan saja, namun juga untuk kebutuhan energi. Terlebih lagi pemerintah saat ini tengah menggalakkan program penggunaan bahan bakar biodiesel 30 persen atau B30.

Kondisi ini membuat industri minyak goreng nasional harus bersaing untuk mendapatkan bahan baku dengan produsen biodiesel di dalam maupun luar negeri. Sesuai hukum ekonomi, jika permintaan terhadap suatu barang tinggi, maka harganya akan terkerek naik.

Merupakan hal yang wajar kenaikan harga minyak goreng sulit diredam jika sebagian besar bahan baku CPO berasal dari impor. Namun seratus persen bahan baku CPO untuk industri minyak goreng dipasok dari perkebunan sawit di dalam negeri.

Tahun lalu, data Gapki mencatat total volume produksi CPO mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66 persen) diekspor dan 17,34 juta ton (34 persen) terserap pasar dalam negeri.

Untuk menstabilkan harga minyak goreng, muncul wacana untuk menerapkan kebijakan DMO CPO dengan harga khusus. Sehingga dikala harga CPO di pasar dunia sedang tinggi, industri minyak goreng di dalam negeri tidak ikut terimbas kenaikan harga bahan baku.

Kebijakan DMO dengan harga khusus ini bukan merupakan hal yang baru. Kebijakan tersebut saat ini sudah dijalankan pemerintah untuk komoditas batu bara. Seperti halnya sawit, Indonesia juga merupakan pemasok terbesar batu bara dunia.

Jika pemerintah bisa memaksa pengusaha batu bara untuk menjalankan aturan DMO dengan harga khusus, tentunya hal serupa bisa juga dilakukan kepada pengusaha sawit?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement