REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo meminta para penyuluh pertanian agar mampu beradaptasi dengan perkembangan tren teknologi digital yang digunakan dalam sektor pertanian. Sebab, dengan itu budidaya pertanian dapat lebih efisien sekaligus meningkatkan produktivitas pangan.
Adaptasi terhadap teknologi untuk peningkatan produktivitas pangan amat diperlukan agar ketergantungan impor pangan bisa dikurangi. Syahrul pun menekankan bahwa impor pangan yang tidak bisa diatasi akan menjadi bumerang bagi kebutuhan pangan nasional.
"Impor oke tidak ada masalah, tapi kalau tiba-tiba stok daging sapi impor misalnya, tidak bisa masuk ke Indonesia, kita makan apa? Kedelai terhambat karena berbagai alasan, kita makan apa? Tolong kita serius memikirkan itu," kata Syahrul dalam Training of Trainer Widyaiswara Dosen Guru dan Penyuluh Pertanian Intergrated Farming Berbasis Closed Loop, Kamis (9/12).
Seperti diketahui, terdapat tiga pangan pokok yang hingga kini pemenuhannya dilakukan lewat importasi. Yakni daging sapi/kerbau, kedelai, dan bawang putih.
Beberapa waktu terakhir, harga daging sapi sempat melonjak akibat adanya gangguan produksi di Australia yang menjadi negara pemasok utama kebutuhan daging Indonesia. Hal itu lantas berdampak pada tingginya harga daging di dalam negeri.
Begitu pula dengan kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe. Tingginya harga kedelai impor yang belum dapat disubstitusi dari produksi dalam negeri telah menekan para pengrajin tahu tempe di dalam negeri. Alhasil, harga jual di tingkat konsumen mengalami kenaikan.
"Malu kita. Orang memang banyak yang senang impor karena banyak uang disitu, tapi rakyat dapat apa? Jadi ini (impor) tidak boleh dibiarkan," katanya.