Jumat 10 Dec 2021 21:39 WIB

Mengkaji Akar dan Tantangan Islam Wasatiyah 

Wasatiyah diartikan sebagai tengah-tengah atau penengah

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Akar dan Tantangan Islam Wasatiyah. Foto:  Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Mengkaji Akar dan Tantangan Islam Wasatiyah. Foto: Toleransi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Direktur Pusat Islam dan Hubungan Muslim-Kristen Prof Peter G Riddell, mengatakan, konsep keumatan wasatiyah tertuang dalam Al-Baqarah ayat 143, di mana wasatiyah diartikan sebagai tengah-tengah atau penengah dari konsep Islam ektrem dan liberal. 

Menurut Peneliti Sejarah Teologi di School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas London ini, hal yang membedakan Islam wasatiyah dengan konsep Islam lainnya adalah kesediaan dan keterbukaannya untuk mendengar dan menerima pandangan maupun masukan dari ‘orang luar’, baik non-Muslim maupun Muslim dari kelompok berbeda. 

Baca Juga

“Wasatiyah islamiyah juga tidak membatasi sistem persaudaraan hanya untuk Muslim dari grup yang sama saja, tapi menerapkan sistem persaudaraan bagi seluruh manusia,” sambung Manajer World Vision Australia Regional Asia Timur dan Tenggara itu saat menjadi pembicara di Konferensi Internasional Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, yang digelar secara daring pada Jumat (10/12). 

Dia mengatakan bahwa Islam Wasatiyah memiliki akar yang kuat dalam sejarah dan tradisi Islam, sejak 610 SM, dimana wasatiyah dijadikan sebagai gaya para pemimpin Ummayah dan Abasyiyah dalam menjalin hubungan dengan para petinggi dan penduduk dari berbagai wilayah.

“Melalui sistem wasatiyah, para khalifah memberikan ruang bagi outsiders untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka, menjalin pertemanan dan saling mengenalkan tradisi mereka tanpa ada paksaan,” ujar dosen Australian National University itu. 

Jika merujuk pada penerapan Islam Wasatiyah di Indonesia, dia mencontohkan konsep Pancasila yang dijadikan nilai dasar negara. Menurutnya Pancasila adalah sebuah pernyataan toleransi beragama, karena meski merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia tetap mengedepankan sistem persatuan, sebagaimana yang tertuang dalam sila ketiga. 

“Dan yang paling menakjubkan adalah, Pancasila dirumuskan pada 1945, dimana itu menjadi bukti bahwa Indonesia telah memiliki sudut pandang yang sangat visioner, bahkan melampaui negara barat dalam hal toleransi beragama, dan itu adalah elemen kunci dalam konsep Islam Wasatiyah yang tengah kita bumikan sekarang,” pungkasnya.

Peneliti Bidang Ilmu Sosial, Budaya dan Kajian Agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Ahmad Najib Burhani menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian wasatiyah. Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI ini mengatakan, wasatiyah bukan hanya berarti tengah-tengah tapi berkonsep pada harmonisasi, dimana Muslim diposisikan sebagai pembawa keadilan bagi komunitas, lingkungan, bahkan dunia. 

Dalam penjelasannya, doktor lulusan Universitas California-Santa Barbara ini juga mengulas tentang karakteristik Islam Sunni di Indonesia. Dia mengatakan, setidaknya ada empat karakteristik, yaitu Tawassut (moderat), I’tidal (keadilan), tawazun (keseimbangan) dan tasamu (toleransi). Mengutip penjelasan KH Achmad Shiddiq, Rais Am PBNU, yang mendeskripsikan Muslim sebagai komunitas penengah (middle community) yang tidak memiliki kecederungan ke kanan maupun kiri, tapi seimbang di tengah-tengah.

Adapun tantangan nasional dalam penerapan Islam Wasatiyah di Indonesia, kata dia, adalah masih adanya pemahaman bahwa Islam adalah agama yang kaku, sulit menerima perbedaan, dan dianggap sebagai perpanjangan atau kamuflase dari beragam program radikalisme. 

“Ini menjadi tantangan yang perlu segera dicari penyelesaiannya, agar konsep Islam Wasatiyah dapat benar-benar dipahami dengan baik dan membawa citra baru bagi Islam di masa depan,” ujarnya. 

Sementara itu, Prof Nina Nurmalia, yang juga hadir sebagai pembicara terakhir dalam sesi pertama konferensi, lebih menekankan para cara penyebaran Islam di Indonesia yang menurutnya telah menerapkan konsep-konsep wasatiyah. 

“Seperti yang kita tau, Walisongo mengandalkan akulturasi budaya atau lokalisasi sebagai cara  berdakwah, bukan paksaan. Ini sejalan dengan konsep wasatiyah yang mengedepankan perdamaian,” ujar Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu. 

Dalam pemaparannya, dia mengajak seluruh Muslim untuk membangkitkan tradisi wasatiyah dengan merujuk kembali pada nilai-nilai keislaman dalam Alquran dan menginterpretasikannya secara kontekstual demi menghadirkan Islam sebagai agama yang kompatibel di berbagai zaman dan tempat. 

“Menjadi muslim bukan berarti terlihat atau bertingkah seperti orang Arab, karena Islam bukan hanya untuk orang orang Arab, tapi dunia secara universal. Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, terlepas dari negara, gender, ras atau aspek pembeda lainnya,” pungkasnya. 

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta menggelar Konferensi Internasional Studia Islamika ketiga pada 10 hingga 11 Desember 2021. Acara yang digelar secara daring ini menghadirkan pengkaji Islam lokal maupun internasional untuk bersama mengkaji lebih jauh tentang tradisi keagamaan Islam Wasatiyah dan segala tantangannya. 

 

Berbeda dengan konferensi sebelumnya, pada 2017 yang digelar secara luring, konferensi yang mengurung tema utama ‘Washatiyah Islam: Traditions and Challenges’ ini digelar secara daring melalui Zoom dan YouTube, karena kondisi selama pandemi yang masih mengkhawatirkan. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement