REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah euforia menurunnya kurva pandemi Covid 19 di Indonesia, penyakit jantung masih menempati posisi pertama penyebab kematian di seluruh dunia. Bahkan hari ini, Selasa (14/12), Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI Jakarta, Abraham Lunggana akrab disala Haji Lulung meninggal dunia karena penyakit tersebut.
Gaya hidup pasif mayoritas pada usia produktif di perkotaan dinilai menjadi salah satu penyebab. Padahal, penyakit jantung sejatinya bisa dicegah dengan deteksi dini secara rutin.
“Selama pandemi, laju rata-rata mortalitas di rumah sakit akibat serangan jantung dilaporkan meningkat hingga 23 persen. Bahkan, 16,3 persen pasien yang dirawat di ruang isolasi Covid 19 ternyata mempunyai penyakit bawaan kardiovaskular, dengan gaya hidup pasif selama pandemi ditengarai menjadi salah satu pemicunya,” ungkap Director, Country Manager Diagnostics, Roche Indonesia, Ahmed Hassan pada sesi webinar bertajuk “Deteksi Dini Penyakit Jantung: Apakah Mungkin?” yang diselenggarakan oleh Siloam Hospitals Lippo Village dan Roche Indonesia belum lama ini.
Hal senada disampaikan oleh Dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah Siloam Hospitals Lippo Village, Dr dr Antonia Anna Lukito, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FAsCC, FSCAI. Ia menjelaskan, penyakit jantung telah menyebabkan setidaknya 15 dari 1.000 orang di Indonesia menderita penyakit kardiovaskular pada 2018.
Gejala penyakit jantung kerap tidak disadari oleh pengidapnya, terutama jika pasien masih berusia muda dan produktif. Padahal, gejala seperti sesak napas yang disertai dengan keringat dingin, rasa lemas, jantung berdebar, atau nyeri dada sebelah kiri, kemungkinan besar menandakan adanya gejala penyakit jantung yang perlu dideteksi dan ditangani sejak dini.
"Oleh karena itu, cek jantung sejak dini juga berperan penting dalam menentukan tes-tes lanjutan apa yang harus dilakukan sesuai dengan kondisi kesehatan jantung masing-masing individu," ujarnya.
Ia menjelaskan, gejala-gejala penyakit jantung di fase awal kerap dirasakan sebagai gejala umum yang tidak membahayakan kesehatan. Hal itu membuat banyak pasien yang baru memeriksakan jantungnya ketika sudah mengalami gejala yang cukup parah. Negara lain bahkan merekomendasikan warganya untuk melakukan cek jantung rutin secara berkala minimal lima tahun sekali sejak usia 18 tahun, dan harus semakin sering jika memiliki riwayat kesehatan atau gaya hidup tertentu.
"Pada tahap ini, deteksi dini sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan untuk mencegah semakin banyaknya keterlambatan penanganan pada penyakit jantung,” lanjut Antonia.
Deteksi dini penyakit jantung menjadi opsi ideal untuk mencegah terlambatnya penanganan penyakit jantung pada pasien. Salah satu inovasi deteksi dini penyakit jantung adalah penggunaan biomarker Troponin T dan NT-proBNP dalam tes darah, yang kini diakui sebagai standar emas deteksi dini penyakit jantung di dunia.
Selain mampu mendeteksi penyakit jantung sejak dini, inovasi ini juga memungkinkan pasien untuk mencari tahu tingkat keparahan kondisi, merencanakan pengobatan yang efektif sesuai kondisi kesehatan, dan mencari tahu apakah pengobatan yang selama ini dijalani sudah bekerja dengan baik.