REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Myanmar akan mulai menerima Renminbi sebagai mata uang resmi tahun depan untuk transaksi perdagangan dengan China. Demikian dilaporkan junta Myanmar pada Rabu.
Myanmar tampaknya akan memulai kembali beberapa proyek bersama dan menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Beijing. Media pemerintah China Global Times sebelumnya melaporkan rencana Myanmar untuk menggunakan Renminbi, seraya mengatakan langkah itu bertujuan untuk mengatasi kekurangan pasokan dolar AS dan mata uang asing lainnya selama periode gejolak ekonomi.
Junta Myanmar, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya menikmati relasi khusus dengan China yang memberikan dukungan keuangan dan mengirimkan vaksin Covid-19. Pernyataan yang dikeluarkan oleh kementerian informasi dan investasi itu juga mengidentifikasi proyek infrastruktur dengan China yang dikatakannya sebagai "prioritas utama" untuk kebangkitan ekonominya, termasuk rencana pembangunan jalur kereta api dan pelabuhan.
Kudeta militer di Myanmar dan tindakan keras berikutnya terhadap pengunjuk rasa yang menewaskan ratusan orang telah dikritik secara luas di Barat dan mendorong sanksi internasional terhadap pejabat militer dan bisnis terkait militer.
Para analis mengatakan bahwa isolasi internasional yang meningkat terhadap Myanmar dapat mendorong negara itu lebih dekat ke China. Beijing belum secara terbuka mengkritik kudeta tetapi telah berulang kali mendesak berbagai pihak di Myanmar untuk "menjembatani perbedaan mereka" dan "memajukan transisi demokrasi".
Dalam pernyataannya, Myanmar mengatakan proyek percontohan mata uang itu akan lebih meningkatkan kerja sama bilateral dengan Beijing dan akan secara substansial meningkatkan perdagangan perbatasan, terutama untuk produk pertanian.
Sejumlah kementerian juga mengatakan bahwa penurunan ekonomi Myanmar tahun ini jauh lebih ringan daripada perkiraan beberapa ekonom internasional. Negara itu memperkirakan akan mencatat pertumbuhan moderat pada 2021-2022.
Hampir setengah populasi Myanmar, yang pernah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia, akan terdorong menjadi berada di bawah garis kemiskinan tahun depan karena dampak ganda kudeta dan pandemi.
Baca juga : Ekonomi AS Tumbuh, Wall Street Ditutup Naik