REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai penerimaan pajak yang melebihi target tahun ini atau mencapai 100,19 persen merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan oleh aktivitas ekonomi dibuka kembali dan adanya normalisasi permintaan ekspor dari mitra dagang utama.
Director CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan realisasi penerimaan negara sebesar 93 persen pada akhir Oktober 2021 dan saat ini 100 persen lebih itu kan karena low base effect.
“Jadi jangan terlalu optimistis dulu melihat pencapaian APBN sampai 31 Oktober 2021, meskipun terjadi pertumbuhan penerimaan negara yang fantastis,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/12).
Jika dibandingkan, lanjut Bhima, pada Oktober 2019 realisasi penerimaan pajak masih lebih rendah saat ini. Pada Oktober 2019, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.173 triliun dan sekarang ini sebesar Rp 1.159 triliun.
“Artinya ekonomi belum bisa kembali seperti pra pandemi. Butuh waktu untuk full recover ya, dan ini yang perlu diperhatikan pemerintah sehingga jangan lengah,” ucapnya.
Ke depan Bhima menyebut pemerintah harus mewaspadai kenaikan harga komoditas yang masih diuntungkan posisi Indonesia. Ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sawit dan batubara yang naik.
“Tapi di dalam negeri perlu waspada efek ke inflasi dan belanja subsidi energi yang merangkak naik. Kemudian pemerintah juga menghadapi tekanan pembiayaan utang, artinya beban bunga masih jadi ancaman fiskal,” ucapnya.
Tercatat pada Oktober 2019 lalu, penerimaan pajak lebih besar dan pembiayaan utangnya sebesar Rp 384,5 triliun. Dibanding saat ini pajaknya lebih rendah dan utangnya bertambah sebesar Rp 608,2 triliun hampir naik dua kali lipat beban utang barunya.
“Tahun 2022, volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga akan membuat porsi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak makin lebar,” ucapnya.