REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Debat kusir merupakan salah satu aktivitas yang tidak dianjurkan dalam Islam.
Debat yang dilarang itu adalah debat yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan, dilakukan dengan cara tidak baik seperti menggunakan kata-kata yang buruk, emosi, menyakitkan hati, dan semata-mata debat dilakukan dengan niatan untuk merendahkan pihak lawan.
Larangan berdebat ini juga pernah disampaikan Nabi Isa. Peringatan Nabi Isa tersebut sebagaimana dikisahkan Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam karya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia "Bahaya Lisan" sebagai berikut:
Nabi Isa as berkata, "Barangsiapa banyak berdusta, niscaya hilang keelokannya. Barangsiapa suka berdebat, maka akan runtuh harga dirinya. Barangsiapa banyak keinginannya, maka akan sakit tubuhnya. Barangsiapa jelek budi pekertinya, maka dirinya akan tersiksa.”
“Pembahasan tentang tercelanya perdebatan itu teramat banyak untuk disebutkan," tulis Imam Ghazali.
Adapun batas perdebatan itu adalah, setiap pertentangan mengenai ucapan orang lain dengan cara menampakan kelemahan dan kekurangannya, baik mengenai susunan kalimat, pengertian atau orang yang berkata. "Sehingga, sikap itu meninggalkan kesan ingkar dan menentang," katanya.
Oleh karena itu, setiap engkau mendengar ucapan yang benar, maka benarkanlah. Jika ucapan itu salah, berbau dusta dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama, maka diamkanlah.
Adapun kesalahan ucapan orang, baik dilihat dari segi susunan bahasa, gaya bahasanya yang terjadi akibat terbatasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, atau karena terselipnya lidah, maka tidak ada alasan untuk mempertentangkannya.
Contoh ucapan yang mempertentangkan makna perkataan, “Bukan seperti yang engkau katakan... dan sesungguhnya pengertianmu itu salah dari segi ini dan itu!" Sedangkan mengenai contoh ucapan yang berhubungan dengan maksud tertentu adalah, “Perkataan ini benar."
Tetapi bukan kebenaran yang engkau tuju dengan perkataan itu. Dengan perkataan tersebul engkau memiliki maksud tertentu! Atau perkataan-perkataan lain yang senada dengannya yang dimaksudkan untuk menentang.
"Jenis pertentangan seperti ini, jika terjadi dalam forum ilmiah, sering disebut dengan berdebat (diskusi). Ini juga tercela,' begitu pendapat Imam Ghazali katanya.
Bahkan di dalam forum seperti ini wajib diam atau bertanya hanya dengan maksud mencari faedah. Tidak boleh ada sikap menentang dan ingkar.
Adapun dalam perdebatan yang dimaksudkan sebagai cara membungkam orang lain dengan memperlihatkan kekurangannya dan kebodohannya, maka sikap seperti ini jelas tidak diperbolehkan. Dalam kondisi seperti ini, sang pendebat seolah ingin memperlihatkan kebenaran dirinya dan kesalahan orang lain.
"Dalam keadaan seperti ini, tentu yang lebih selamat adalah diam, jika tidak berdosa," katanya.