REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Capaian surplus dagang selama 2021 diprediksi sulit dapat kembali terjadi pada 2022. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai, tanda penurunan ekspor dan kenaikan permintaan mulai terlihat pada akhir 2021. Hal itu menunjukkan akan terjadi penyeimbangan perdagangan di tahun ini.
"Kita sedang mengalami fase rebalancing, yang tadinya ekspor naik sekarang giliran impor. Jadi neraca dagang akan surplus tapi kemungkinan ada penurunan di 2022," kata Bhima kepada Republika.co.id, Senin (17/1/2022).
Penurunan ekspor secara bulanan terjadi mulai Oktober ke Desember 2021. Khusus bulan Desember lalu, nilai ekspor sebesar 22,38 miliar dolar AS, turun 2,04 persen dari bulan sebelumnya.
Sementara impor mengalami kenaikan konsisten pada periode sama. Pada Desember, impor tembus 21,36 miliar dolar AS atau naik 10,51 persen dari November. Nilai impor itu sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang masa.
Adapun selama 2021, surplus dagang Indonesia secara kumulatif mencapai 35,34 miliar dolar AS. Nilai ekspor mencapai 231,5 juta dolar AS sedangkan impor 196,1 juta dolar AS.
Bhima mengatakan, tantangan kinerja perdagangan di tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya. Pasalnya, di saat adanya perbaikan ekonomi dunia dan Indonesia, permintaan akan barang konsumsi, termasuk dari pemenuhan impor, akan mengalami peningkatan.
Sementara itu, kenaikan harga komoditas mentah yang menguntungkan Indonesia sepanjang 2021 dan membuat nilai ekspor meningkat pesat tak bisa diharapkan sepenuhnya.
"Jika berharap pada booming harga komoditas, kita belum tahu apakah sampai akhir 2022 masih terjadi sementara banyak ketidakpastian. Sementara itu gangguan rantai pasok masih terjadi," Kata dia.
Bhima mengatakan, melihat tantangan tahun 2022 yang masih penuh dengan ketidakpastian, pemerintah dan pelaku usaha harus mencari strategi untuk dapat memperluas pasar. Di sisi lain, berupaya dalam meningkatkan nilai tambah produk dan kualitas daya saing produk Indonesia di pasar global."Jadi tidak lagi mengejar supercycle komoditas," kata dia.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi mengatakan, capaian surplus perdagangan 2021 yang mencetak rekor terbesar sudah menandakan adanya evolusi perdagangan Indonesia.
Pada 2013 silam ia mencatat tiga dari lima produk ekspor unggulan Indonesia merupakan komoditas mentah seperti pertambangan. Namun, saat ini produk-produk unggulan ekspor sudah meningkat menjadi bahan olahan industri, seperti turunan minyak sawit serta produk besi dan baja.
Karenanya, Lutfi menegaskan, satu-satunya cara agar kinerja perdagangan dapat terus ditingkatkan dengan mengubah produk-produk ekspor dari barang mentah menjadi setengah jadi, barang industri, serta produk berteknologi tinggi.