REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyebutkan geopolitik dunia mengalami perubahan mendasar dalam hal kebijakan pertahanan dan keamanan global. Dari ancaman tradisional menjadi ancaman non tradisional dan ancaman non-tradisional tidak kalah bahaya dari ancaman militer dan bersifat lintas batas negara.
“Telah terjadi reorientasi sistem pertahanan tradisional (traditional security) yang sebelumnya fokus pada kekuatan militer menjadi pada kekuatan non tradisional (non-traditional security paradigm) yang dapat mengancam kedaulatan bangsa dan negara,” papar Yasonna dalam keterangan di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Menurut Yasonna, salah satu komponen utama yang menjadi perhatian negara saat ini dalam menjaga kedaulatannya adalah dengan melakukan penguatan pengelolaan perbatasan (Border Management). Hal ini penting, karena wilayah perbatasan merupakan garda terdepan (frontier) negara dalam menghadapi ancaman keamanan dari luar.
"Dengan demikian, penguatan kapasitas negara dalam mengelola perbatasan merupakan sebuah keniscayaan dan harus dilakukan secara serius," ungkap Yasonna.
Yasonna menambahkan bahwa sifat ancaman non tradisional yang lintas batas tidak ada satu negarapun yang mampu menanggulanginya secara unilateral. Hal ini memaksa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 22 September 2016 dan 21 Desember 2017 mengeluarkan Resolusi 2309 dan 2396.
"Yang mendesak dunia untuk memperkuat dan membendung ancaman yang ditimbulkan oleh Foreign Terrorist Fighters (FTF) dan kejahatan lintas negara lainnya, melalui pengawasan perbatasan dan berbagi informasi antar negara,” ujarnya lagi.
Proses pengelolaan perbatasan harus dilakukan secara terintegrasi. Menurut Yasonna, hal itu memerlukan proses yang cukup rumit. Hal ini dikarenakan bahwa konsep “integrasi” yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang berbeda memerlukan teknik dan strategi untuk membangun konsep kolaborasi yang dapat menguatkan tugas dan fungsi masing-masing institusi yang tergabung di dalam konsep Integrated Border Management (IBM).
Dalam kerangka manajemen perbatasan yang terintegrasi, Yasonna kemudian menjelaskan bahwa Kemenkumham, melalui Ditjen Imigrasi menggunakan Integrated Border Control Management (IBCM) untuk mencegah tindak pidana lintas batas. IBCM merupakan sebuah sistem yang menyelesaikan persoalan pelintas batas, tumpangan kepentingan yang berujung pada isu tindak pidana lintas negara (trans-national crime).
"Dengan IBCM, sebuah negara dapat memilih model kelembagaan yang kolaboratif dalam mengelola perbatasan sesuai dengan karakteristik perbatasan secara transparan dan akuntabel," jelas Yasonna.
mMenurut Yasonna, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan atensi dalam pengelolaan perbatasan. Pertama menjadikan perbatasan darat, laut dan udara sebagai satu integral yang utuh. Kedua, adanya perhatian pada perlintasan barang dan uang/modal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan orang itu sendiri.
“Ketika membahas tentang perlintasan orang di perbatasan, maka perlu diperhatikan juga perlintasan barang dan uang/modal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan orang itu sendiri,” terang.
Terakhir, terkait konsep ICBM. Kata dia, negara dapat memilih model kelembagaan kolaboratif dalam pengelolaan perbatasan sesuai dengan karakteristik perbatasan secara transparan dan akutabel.