REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Relokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro dilakukan Pemda DIY untuk mendukung Sumbu Filosofi menjadi warisan budaya dunia yang sudah didaftarkan ke UNESCO. Alasan relokasi untuk mewujudkan sumbu filosofi jadi warisan budaya dunia ini dinilai aneh bagi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
"Kalau dari kami aneh karena UNESCO tidak mensyaratkan sumbu filosofi harus terbebas dari aktivitas-aktivitas ekonomi," kata Kepala Divisi Penelitian LBH Yogyakarta, Era Hareva Pasarua.
Era mengatakan, sumbu filosofi Yogyakarta tidak hanya kawasan Malioboro, namun menghubungkan Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta dan Panggung Krapyak. Sedangkan, relokasi PKL hanya dilakukan di sepanjang trotoar Malioboro.
"Apakah PKL selain di Malioboro juga dihilangkan atau bagaimana, karena masuk sumbu filosofi juga. Relokasi ini bisa dibilang tidak berhubungan dengan pendaftaran ke UNESCO," ujar Era.
Ketua Paguyuban Angkringan Malioboro (Padma), Yati Dimanto juga menyebutkan pendaftaran sumbu filosofi ke UNESCO bukan alasan yang tepat untuk merelokasi PKL di sepanjang Malioboro.
"Unesco tidak menuntut seperti ini, PKL harus pergi, (Malioboro) harus bersih (dari PKL). Tapi Unesco justru senang dengan apa adanya," kata Yati.
Yati menyebut, relokasi dilakukan terlalu mendadak di saat PKL masih dalam pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Di lokasi yang baru pun, kata Yati, juga dinilai tidak layak terutama bagi pedagang kuliner.
Setidaknya, ada 1.838 PKL yang akan dipindahkan ke dua lokasi yakni di Teras Malioboro 1 (eks Gedung Bioskop Indra) dan Teras Malioboro 2 (eks Gedung Dispar DIY). Relokasi akan dilakukan mulai awal Februari 2021.
Sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan pihaknya akan mengembalikan aset milik toko yang selama ini digunakan oleh PKL di sepanjang trotoar Malioboro dalam mendukung sumbu filosofi menjadi warisan budaya dunia.