REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menolak kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), olein, dan minyak goreng.
Menurut Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung, kebijakan ini berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit (PKS) akan menekan harga pembelian TBS ke petani.
“Kalau ingin mengobati satu penyakit, jangan dong membuat penyakit baru. (Kebijakan) ini kan hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan,” kata Gulat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Sejatinya, kata Gulat, melambungnya harga CPO juga mengatrol harga TBS. Namun kenaikan harga TBS ini tidak serta merta menaikkan keuntungan petani secara signifikan. Sebab di saat yang sama, harga pupuk juga mengalami kenaikan yang luar biasa tinggi.
Menurut perhitungan Gulat, sejak Januari 2021 hingga Januari 2022 harga pupuk mengalami kenaikan sekitar 185 persen. “Kami petani kelapa sawit jelas terbebani dengan biaya pembelian pupuk ini. Dan ini pemerintah tidak mendengar teriakan kami. Tapi begitu harga minyak goreng melonjak, pemerintah begitu responsif,” kata Gulat.
Dalam kesempatan itu, Gulat meminta pemerintah agar membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (cif Rotterdam). Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi petani.
“Ya kan bisa saja pabrik membeli TBS dengan harga yang rendah atau di bawah harga internasional karena beralasan untuk memasok industri minyak goreng. Padahal TBS tersebut setelah diproses, CPO-nya diekspor,” katanya.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengapresiasi respon cepat pemerintah. Sebab kenaikan harga minyak goreng berpotensi mendorong kenaikan inflasi. Namun, kata dia, pemerintah juga harus jeli dalam membuat kebijakan di industri persawitan ini.
Sebab di industri persawitan ini, kata Tauhid, cukup rumit. Perlu diketahui, bahwa produsen kelapa sawit ini tidak hanya pengusaha saja, tapi juga petani yang jumlahnya mencapai jutaan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah petani sawit di perkebunan rakyat (PR) pada 2019 diperkirakan mencapai 2,74 juta kepala keluarga (KK). Jumlah tersebut meningkat 2,5% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 2,67 juta KK.
“Kebijakan DMO dan DPO ini sangat berpotensi menekan harga TBS. Akibatnya, kesejahteraan petani akan menurun,” kata Tauhid.
Jika harga TBS petani jatuh di bawah harga keekonomian, dikhawatirkan para petani akan malas merawat kebun sawitnya. Selain itu para petani juga akan enggan memanen TBS-nya. “Jika itu terjadi, suplai TBS juga akan menjadi masalah,” katanya.