REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengatakan cara terbaik mencegah infeksi dan memperlambat penyebaran Covid-19 adalah mendapatkan vaksinasi. Namun, tidak diketahui berapa jumlah total kasus infeksi terobosan (breakthrough infection), karena badan itu hanya memantau kasus yang paling parah setiap bulannya.
Setelah 1 Mei 2021, CDC menyederhanakan pelaporan semua infeksi terobosan Covid-19 menjadi hanya memantau kasus paling parah. CDC mengakui bahwa jumlah total kasus kurang terwakili karena pasien tanpa gejala atau kasus ringan tidak mencari perawatan atau menjalani tes Covid-19.
Direktur medis unit perawatan intensif di Mayo Clinic, Devang Sanghavi, mengatakan kepada American Medical Association (AMA) bahwa kasus infeksi terobosan Covid-19 didefinisikan sebagai deteksi RNA virus atau antigen Covid-19 dalam spesimen pernapasan yang dikumpulkan 14 hari setelah menerima dosis kedua vaksin mRNA Moderna atau Pfizer atau dua pekan setelah dosis tunggal vaksin Covid-19 Johnson & Johnson.
CDC bertransisi untuk fokus pada kasus terobosan dengan signifikansi klinis dan kesehatan masyarakat tertinggi karena kebanyakan kasus breakthrough infection pada orang yang telah divaksinasi dosis lengkap tidak berkembang menjadi penyakit serius. Itu jika dibandingkan mereka yang tidak divaksinasi dan terkena Covid-19.
"Salah satu kelebihan sistem ini adalah pendataan kasus berat infeksi terobosan terhadap vaksin Covid-19 karena kemungkinan besar orang dengan kasus seperti ini mencari perawatan medis dan didiagnosis serta dilaporkan sebagai kasus Covid-19," kata pernyataan resmi CDC, dilansir Fox News, Sabtu (29/1/2022).
Sekitar 10 persen orang yang mengembangkan infeksi terobosan masih memerlukan rawat inap. Sekitar satu hingga dua persen dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena infeksi terobosan mungkin masih berisiko meninggal.
"Jadi, itu masih menjadi perhatian," ujar Sanghavi.