REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Israel telah memberi 'teguran' kepada duta besar Ukraina untuk negara tersebut, Yevgen Korniychuk, Jumat (4/2/2022). Hal itu berkaitan dengan kritik yang dilayangkan Korniychuk terhadap Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Yair Lapid terkait krisis di perbatasan Ukraina-Rusia.
Dalam sebuah wawancara dengan situs berita Axios pekan ini, Yair Lapid mengungkapkan Pemerintah Israel tak yakin konfrontasi akan pecah di perbatasan Rusia-Ukraina. “Saya juga tidak berpikir perang dunia akan segera dimulai di sana,” ucapnya.
Menurut Korniychuk, komentar Lapid “memalukan”. Menlu Israel itu dinilai tak memperhatikan perang di pusat Eropa yang telah berlangsung selama delapan tahun. “(Saya) ingin mengingatkan (Lapid) bahwa itu bukan konflik. Ini adalah perang yang dilakukan Rusia secara agresif dan sinis terhadap Ukraina,” katanya.
Korniychuk menuduh Lapid mengabaikan pesan dan keprihatinan sekutu-sekutunya seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris tentang situasi di perbatasan Rusia-Ukraina. AS, Inggris, dan Uni Eropa telah menyampaikan tentang potensi invasi militer berskala besar oleh Rusia terhadap Ukraina dalam beberapa pekan mendatang.
Korniychuk kemudian memperingatkan bahwa “perang skala besar” di Eropa akan membuat Israel berhadapan langsung dengan ancaman Iran. Rusia dilaporkan telah mengerahkan lebih dari 100 ribu tentaranya ke perbatasan Ukraina. Moskow pun menggerakkan pasukannya ke perbatasan Belarusia.
AS dan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi ke Kiev. Moskow telah membantah tuduhan tersebut. Meski demikian, Washington dan NATO sudah menyatakan dukungannya terhadap Ukraina.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014 yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.
Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.