WCC: Banyak Perempuan di Kota Malang Alami Kekerasan Seksual
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Kekerasan Seksual (ilustrasi) | Foto: STRAITS TIMES
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Woman Crisis Center (WCC) Dian Mutiara mencatat masih banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Kota Malang. Hal ini tertera dalam laporan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2021.
Pimpinan WCC Dian Mutiara, Sri Wahyuningsih mengatakan, setidaknya ada 14 korban yang mengalami kekerasan seksual dalam keluarga dan relasi personal. Beberapa di antaranya dilakukan oleh suami dan ayah terhadap istri serta anaknya. Sementara itu, kasus kekerasan seksual lainnya dilakukan oleh mantan pacar dan pacar.
Berdasarkan catatan WCC, sebagian besar kasus kekerasan seksual di Kota Malang banyak dialami dalam relasi personal. "Kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dengan mantan pacar, baik fisik, psikis maupun seksual," jelas Wahyuningsih saat dikonfirmasi Republika, Selasa (8/2/2022).
Kasus kekerasan seksual dalam relasi personal untuk hubungan pacaran banyak terjadi di kontrakan, kos, rumah dan apartemen. Sebagian besar kasus diselesaikan dengan cara mediasi dan psikososial. Rinciannya, yakni tujuh kasus diselesaikan secara mediasi, tiga kasus dengan psikososial dan empat kasus melalui cara mediasi keluarga serta psikososial.
Di samping relasi keluarga dan personal, WCC Dian Mutiara juga mempunyai data kekerasan terhadap anak dan perempuan di dalam lingkup komunitas. Hal ini terutama kasus yang terjadi di tempat kerja, perdagangan perempuan dan anak, serta kekerasan yang disebabkan oleh media dan agama.
Untuk lingkup komunitas, Wahyuningsih tak menampik, bentuk kekerasan seksual masih dominasi kasus yang dialami perempuan dan anak. Berdasarkan laporannya, ada tujuh korban yang mengalami pelecehan seksual berupa fetis mukena. "Hubungan korban dengan pelaku adalah pemberi kerja," jelasnya.
Kemudian masing-masing satu kasus pelecehan seksual di tempat kerja dan jenis pemaksaan perkawinan. Wahyuningsih juga mengungkapkan, ada 10 korban yang mengalami pelecehan seksual di lingkup pondok pesantren. Hubungan korban dan pelaku pada kasus ini adalah pemilik yayasan pesantren.
Menurut Wahyuningsih, ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan. Satu di antaranya, Indonesia secara yuridis masih mengalami kekosongan hukum. Aturan dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak maupun perempuan masih belum memerinci.
Di samping itu, ketimpangan kuasa yang melabeli laki-laki sebagai pemimpin juga ikut mempengaruhi kasus kekerasan. "Ada kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga. Ada ustaz atau guru agama, yang kita harus tawadhu, tunduk, nurut. Ada dosen dan mahasiswa, guru ke murid, orang dewasa ke anak kecil," jelasnya.
Karena laki-laki diimajinasikan sebagai pemimpin, maka kedudukannya pun dianggap lebih tinggi. Terlebih jika melihat pada konteks antara kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga. Ada semacam subordinasi atau kedudukan bertingkat di antaranya.
Di samping itu, Wahyuningsih juga menyebutkan adanya beban ganda yang dimiliki perempuan. Seorang istri misalnya dilabeli sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sehingga diposisikan di kerja-kerja domestik. Jika pekerjaan itu tidak beres, maka istri tidak dianggap benar-benar perempuan.
"Misalnya, masak tidak enak, nyetrika tidak rapi. Itu menjadi salah perempuan. Perempuan dituntut untuk pintar masak, pintar cari uang, pintar membersihkan segala-galanya. Kalau itu, ya, tidak bisa. Tidak adil," jelasnya.
Hal-hal tersebut yang kemudian dilanggengkan di kehidupan masyarakat. Sebab, masyarakat menganggap segala sesuatu diawali atau "dikuasai" oleh laki-laki. Oleh karena itu, perempuan acap dinomorduakan sehingga menimbulkan pelabelan negatif lalu berpotensi menimbulkan eksploitasi, diskriminasi lalu kekerasan.