REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Damami Zain, Dosen Tetap UIN Suka Yogyakarta
Menurut Al-Qur’an, sifat Ar-Raqib, dalam konteks kehidupan manusia terkait erat dengan masalah proses pencipta manusia itu sendiri, yaitu bahwa manusia ketika telah diciptakan dan kemudian berketurunan maka Allah s.w.t. tidak melepas bebas begitu saja, melainkan Alaah s.w.t. aktif mengawasi ( QS An-Nisa’, 4: 1).
Mengapa manusia memerlukan “pengawas”? Berdasar firman Allah s.w.t. sendiri, bahwa ciri penciptaan manusia itu sendiri antara lain adalah, pertama, manusia itu sekalipun diciptakan Allah s.w.t. sebagai makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS At-Tin’, 95: 4),namun dalam praktik mengamalkan aturan-aturan yang dibebankan kepada mereka, oleh Allah s.w.t. ditegaskan bahwa manusia diciptakan “lemah” dalam masalah ini (QS An-Nisa’,4: 28). “Kelemahan” ini bisa berwujud dari seri fisik tubuhnya yang harus tunduk pada siklus “lemah menjadi kuat lalu kembali lemah” (QS Ar-Run, 30: 54 ) atau dari segi semangat ketahanannya terhadap aturan (QS Al-Baqarah, 2: 286), yaitu kadang-kadang “lupa” dan kadang-kadang “salah”.
Kedua, sejak Adam a.s. dan Hawa keluar dari surga, manusia cenderung dapat dipengaruhi oleh kegelap-gulitaan hati (dhulumat) sehingga umat manusia perlu dan sangat membutuhkan penerangan “cahaya” (QS Al-A’raf, 7: 23). Karenanya Allah s.w.t. senantiasa menuntun orang-orang beriman “dari kegelap-gulitaan hati menuju kepada cahaya-terang” (QS Al-Baqarah, 2: 257).
Ketiga, memang benar manusia dalam keutuhan diri pribadinya telah disempurnakan oleh Allah s.w.t. misalnya saja dengan dianugerahi-Nya berupa energi pikiran dan kepekaan perasaan, namun ketika harus “memilah dan memilih” cenderung terbentur-bentur ke arah yang “salah” dan karena itu perlu “dituntun” atau “disarankan” (QS Asy-Syams, 91: 7-10).
Dengan adanya ciri penciptaan manusia yang setidak-tidaknya berjumlah 3 (tiga) di atas, maka secara nalar diperlukan “pengawasan” agar manusia tetap bersemangat tinggi menjalani aturan-aturan, terhindar dari kegelap-gulitaan hati, dan senantiasa benar dalam proses memilih. Patut direnungkan, bahwa arti raqib adalah “pengawasan ketat” yang kata raqib ini dalam Al-Qur’an, dalam konteks perilaku manusia, senantiasa dihubungkan dengan kata atid yang berarti “yang senantiasa hadir” (QS Qaf, 50: 18). Tegasnya, pengawasan yang dilakukan Allah s.w.t. adalah pengawasan yang berlangsung terus- menerus tanpa jeda yang dalam ayat 18 surat Qaf tersebut digambarkan ada 2 (dua) malaikat; yang berada di sebelah kanan setiap diri manusia berupa “malaikat raqib” selaku pencatat amal-perbuatan yang baik dan “malaikat ‘atid” sebagai pencatat amal-perbuatan yang buruk berada di sebelah kiri dirinya.
Bahwa sifat Ar-Raqib Allah s.w.t. meliputi seluruh makhluk ciptaan-Nya ( QS Al-Ahzab, 33 :52) :
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ رَّقِيبًا….
…. dan adalah Allah maha mengawasi terhadap sesuatu. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2019