Senin 14 Feb 2022 13:00 WIB

PM Selandia Baru Sebut Unjuk Rasa Anti-Wajib Vaksin 'Diimpor'

Jacinda Ardern mengatakan tidak pernah melihat hal serupa di Selandia Baru.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern bicara terkait perkembangan Covid-19 saat berkunjung ke New Plymouth, Selandia Baru, Rabu (10/1/2022).
Foto: Mark Mitchell/New Zealand Herald via AP
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern bicara terkait perkembangan Covid-19 saat berkunjung ke New Plymouth, Selandia Baru, Rabu (10/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern merasa unjuk rasa menentang wajib vaksin Covid-19 yang kini memasuki pekan kedua merupakan fenomena impor. Ia mengatakan tidak pernah melihat hal serupa di Selandia Baru.

Sudah tujuh hari ratusan pengunjuk rasa berkumpul di taman depan gedung parlemen Selandia Baru yang dikenal 'Beehive.' Mereka menolak perintah polisi untuk pergi dan mengabaikan hujan pada akhir pekan lalu.

Baca Juga

Para demonstran mengklaim mereka terinspirasi dari gerakan anti-wajib vaksin di Kanada. Mereka memblokir beberapa jalan di sekitar gedung parlemen dengan truk, mobil van dan sepeda motor.

"Bagi saya rasanya seperti unjuk rasa impor," kata Ardern di stasiun televisi TVNZ, Senin (14/2).

"Saya melihat bendera (mantan Presiden Amerika Serikat Donald) Trump di halaman depan, saya melihat bendera Kanada di halaman depan," katanya.

Ardern mengatakan tampaknya pengunjuk rasa menolak untuk berdialog. "Ketika anda melihat tanda seruan untuk mengeksekusi politisi itu bukan kelompok yang benar-benar ingin terlibat dalam dialog politik," katanya.

Awalnya pengunjuk rasa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan wajib vaksin. Kini tuntutan mereka lebih luas dengan meminta agar semua peraturan pembatasan sosial Covid-19 dicabut.

Selain menolak vaksin mereka juga mencari perhatian untuk isu sosiaol lain dan hak-hak etnis Maori. Di puncak unjuk rasa diperkirakan terdapat ribuan orang yang terlibat.

Ardern khawatir sejumlah pengunjuk rasa membawa serta anak-anaknya. Polisi mengatakan akan terus berjaga-jaga di sekitar parlemen untuk memastikan keamanan bagi semua orang.

Melalui peraturan pembatasan sosial dan penutupan perbatasan yang ketat. Selandia Baru berhasil menjadi salah satu negara dengan angka infeksi Covid-19 terendah di dunia.

Namun ketika varian Omicron yang sangat menular menyebar angka kasus infeksi hari Senin menyentuh 1.000 kasus. Beberapa peraturan domestik mulai dilonggarkan bulan lalu. Tapi perbatasan masih ditutup sehingga banyak ekspatriat Selandia Baru yang belum bisa pulang.

Pengadilan Tinggi mulai menggelar sidang kasus kelompok yang mewakili para ekspatriat yang menggugat pemerintah. Mereka mengatakan pemerintah Selandia Baru dengan ilegal melarang warganya untuk masuk ke negara itu.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement