Kamis 17 Feb 2022 02:06 WIB

Ahli Sebut Polusi Lebih Banyak Sebabkan Kematian daripada Covid

Polusi dari pestisida, plastik, dan limbah luput dari sorotan dan terabaikan.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Friska Yolandha
Truk sampah. Sebuah laporan dari Ahli lingkungan PBB yang diterbitkan pada Selasa (15/2/2022) mengatakan, polusi dari beberapa negara dan perusahaan multinasional lebih banyak berkontribusi terhadap kematian secara global daripada Covid-19.
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Truk sampah. Sebuah laporan dari Ahli lingkungan PBB yang diterbitkan pada Selasa (15/2/2022) mengatakan, polusi dari beberapa negara dan perusahaan multinasional lebih banyak berkontribusi terhadap kematian secara global daripada Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebuah laporan dari Ahli lingkungan PBB yang diterbitkan pada Selasa (15/2/2022) mengatakan, polusi dari beberapa negara dan perusahaan multinasional lebih banyak berkontribusi terhadap kematian secara global daripada Covid-19. Laporan itu menyerukan perlunya tindakan segera dan ambisius untuk melarang beberapa bahan kimia beracun dilepas ke udara bebas.

Laporan itu mengatakan polusi dari pestisida, plastik, dan limbah elektronik menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan setidaknya 9 juta kematian dini per tahun. Parahnya persoalan ini luput dari sorotan, dan sebagian besar diabaikan.

Baca Juga

Saat ini dampak dari pandemi virus corona telah menyebabkan hampir 5,9 juta kematian, menurut agregator data Worldometer. “Pendekatan saat ini untuk mengelola risiko yang ditimbulkan oleh polusi dan zat beracun jelas gagal, yang mengakibatkan pelanggaran luas terhadap hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” tulis pembuat laporan tersebut, Pelapor Khusus PBB David Boyd, menyimpulkan.

"Saya pikir kami memiliki kewajiban etis dan sekarang hukum untuk berbuat lebih baik kepada orang-orang ini," katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara.

Karena akan dipresentasikan bulan depan ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang telah mendeklarasikan lingkungan yang bersih sebagai hak asasi manusia, dokumen itu diposting di situs web Dewan PBB pada hari Selasa ini. Laporan itu mendesak larangan polifluoroalkil dan perfluoroalkil, zat buatan manusia yang digunakan dalam produk rumah tangga seperti peralatan masak antilengket yang telah dikaitkan dengan kanker dan dijuluki "bahan kimia selamanya" karena tidak mudah rusak.

Laporan itu juga mencari lokasi tercemar polutan untuk dibersihkan dan, dalam kasus ekstrim, kemungkinan relokasi masyarakat yang terkena dampak - sebagian besar dari mereka warga asli yang miskin dan terpinggirkan - dari zona terpapar.

Istilah itu, awalnya digunakan untuk menggambarkan zona uji coba nuklir, diperluas dalam laporan untuk mencakup situs atau tempat yang sangat terkontaminasi yang tidak dapat dihuni oleh perubahan iklim.

"Apa yang saya harap dapat dilakukan dengan menceritakan kisah-kisah tentang zona yang menjadi korban ini adalah untuk benar-benar menempatkan wajah manusia pada statistik yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dipahami (dari angka kematian akibat polusi)," kata Boyd.

Boyd menganggap laporan yang terbaru itu serangkaian perjalanan panjang serangkaian penelitiannya, kata dia kepada Reuters bahwa dia mengharapkan bisa "mendorong kembali" disajikan kepada Dewan di Jenewa.

Kepala HAM PBB Michelle Bachelet telah menyebut ancaman lingkungan sebagai tantangan hak global terbesar, dan semakin banyak kasus keadilan iklim dan lingkungan yang menuntut hak asasi manusia dengan sukses. Limbah kimia akan menjadi bagian dari negosiasi pada konferensi lingkungan PBB di Nairobi, Kenya, mulai 28 Februari 2022 mendatang, termasuk proposal untuk membentuk panel khusus, mirip dengan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.

 

Amri Amrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement