REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Alquran melalui Surah Ar-Ra'd Ayat 22 dan tafsirnya menjelaskan tentang sifat Ulul Albab atau sifat orang yang berakal. Tafsir ayat ini menerangkan ada delapan sifat orang yang berakal.
وَالَّذِيْنَ صَبَرُوا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً وَّيَدْرَءُوْنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِۙ
Dan orang yang sabar karena mengharap keridhoan Tuhannya, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS Ar-Ra'd: 22)
Tafsir Kementerian Agama menerangkan ayat ini bahwa Allah SWT mensifati Ulul Albab dari kalangan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah suatu kebenaran yang berlaku sebagai berikut.
Sifat pertama, orang-orang tersebut senantiasa memenuhi janji Allah, dan tidak mau mengingkari perjanjian itu. Yang dimaksud dengan "janji Allah" di sini ialah janji-janji yang telah mereka ikrarkan atas diri mereka, baik mengenai hubungan mereka dengan Allah, maupun hubungan mereka dengan orang lain. Fitrah mereka yang suci, dan hati mereka yang murni mengakui adanya perjanjian itu dan wahyu Allah pun mengharuskan adanya perjanjian tersebut.
Mereka tidak mau mengingkari atau pun memungkiri perjanjian yang telah mereka kukuhkan, karena mereka sangat menjauhi sifat-sifat kemunafikan. Betapa pentingnya sifat memenuhi janji ini, oleh Qatadah telah disebutkan bahwa dalam Alquran, Allah SWT telah menyebutnya sebanyak lebih dua puluh kali.
Sifat kedua, mereka memelihara semua perintah Allah dan tidak melanggarnya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak hamba-Nya, termasuk memelihara silaturrahim. Hubungan antara sesama manusia ialah menjalin hubungan tolong-menolong, menjalin cinta dan kasih-sayang, sebagaimana disebutkan dalam hadis ini.
Dari Abi Hurairah bahwasanya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa senang dilapangkan rezekinya dan selalu disebut-sebut kebaikannya, maka hendaklah pelihara hubungan silaturrahim. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya kebajikan dan menghubungkan silaturrahim itu, kedua-duanya benar-benar meringankan hisab yang buruk di hari kiamat. Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat ini. (Riwayat al-Khatib dan Ibnu Asakir)
Sifat ketiga, mereka benar-benar takut kepada Allah SWT. Sifat takut kepada Allah adalah perasaan takut yang dilandasi dengan rasa hormat yang mendorong orang untuk taat kepada-Nya. Sifat ini dimiliki oleh para ulama, dan ciri dari orang-orang "muqarrabin."
Dalam hubungan ini Allah swt telah berfirman: Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. (QS Fathir: 28)
Sifat keempat, mereka senantiasa takut kepada hisab yang sifatnya merugikan mereka pada hari kiamat, yaitu hasil yang buruk dari amalan mereka di hari kiamat. Karena banyaknya kejahatan yang dilakukannya selagi hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mawas diri, sebelum dihisab amalannya di akhirat kelak. Mereka selalu membandingkan antara amal-amal mereka yang baik dengan yang buruk, selalu berusaha agar amal yang baik lebih banyak dari perbuatan yang buruk, agar neraca kebajikan mereka di akhirat kelak lebih berat daripada neraca keburukan.
Dalam hal ini, Allah telah berfirman: Maka adapun orang yang berat timbangan kebaikannya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (QS Al-Qariah: 6 - 9) e.
Sifat kelima, mereka senantiasa sabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan, demi mengharapkan ridho Allah. Sabar dalam hal ini berarti menahan diri terhadap segala hal yang tidak disenanginya, baik dengan cara melakukan ketaatan dan menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan agama maupun dengan jalan menjauhi hal-hal yang dilarang agama. Bisa juga berarti bersikap rela menerima segala ketentuan Allah yang telah berlaku berupa musibah dan lain sebagainya.
Kesabaran yang diminta dari setiap orang yang berakal dan beriman adalah kesabaran yang dilakukan semata-mata karena mengharapkan keridhoan Allah dan ganjaran-Nya, bukan kesabaran yang dibuat-buat karena ingin dipuji dan disebut-sebut. Itulah kesabaran yang sejati, yang menjadi sifat bagi orang-orang yang berakal dan beriman.
Sifat keenam, mereka senantiasa mendirikan sholat. Arti "mendirikan sholat" adalah menunaikan dengan cara yang sebaik-baiknya, dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya, disertai rasa khusyuk dan tawaduk menghadapkan wajah dan hati kepada Allah semata, tidak dibarengi dengan ria, serta memelihara waktu yang telah ditetapkan untuknya. Hal ini hanya dapat dilakukan bila pada saat-saat melakukan sholat, kita merasa sedang berdiri sendiri di hadapan Allah SWT, Pencipta dan Penguasa semesta alam. Dengan demikian, maka tidak ada sesuatu pun yang dipikirkan pada saat itu, kecuali semata-mata bermunajah kepada Allah.
Sifat ketujuh, mereka senantiasa menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan, baik infak wajib seperti terhadap istri, anak, dan karib kerabat maupun infak sunah seperti terhadap fakir miskin.
Kenyataan dapat memberikan pengertian kepada kita tentang rahasia yang tersimpan di dalamnya. Alquran berulang kali menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah diperolehnya kepada yang memerlukan pertolongan, dan untuk menyokong kepentingan umum. Jika mereka mau melakukannya, niscaya kemiskinan dan kemelaratan dapat dilenyapkan dari kehidupan masyarakat.
Sifat kedelapan, mereka senantiasa menolak kejahatan dengan kebajikan, karena kebajikan itu dapat menolak kejahatan. Kenyataan menunjukkan bahwa apabila seseorang dapat bergaul dengan orang lain dengan akrab dan kasih sayang serta menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan, ia tidak akan dimusuhi atau dibenci oleh masyarakatnya. Apabila ia mendapat musibah, maka orang yang pernah mendapat pertolongannya akan segera pula mengulurkan pertolongan kepadanya.
Sebaliknya orang yang suka menyakiti orang lain, atau enggan memberikan bantuan dan pertolongan adalah orang yang egois dan tidak menggunakan akalnya. Sikap dan perbuatannya itu hanyalah mempersempit ruang lingkup kehidupannya sendiri, serta menimbulkan kebencian dan kedengkian orang lain terhadap dirinya.
Berbuat kebaikan untuk menghindari kejahatan, atau sedapat mungkin membalas perbuatan jahat orang lain dengan berbuat kebajikan atau dengan diam adalah tanda orang yang mau menggunakan akalnya dan bijaksana.
Firman Allah: ... dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam." (QS Al-Furqan: 63)
Dari sini dapat dipahami, betapa tingginya nilai ajaran agama Islam dalam membina hubungan baik antara sesama manusia guna menciptakan kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Pada akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti akan memperoleh tempat kediaman terakhir yang baik, yaitu surga Jannatun Naim di akhirat kelak di samping kebahagiaan, ketenangan, dan kesejahteraan di dunia ini.