Oleh : Dr Syahrullah Iskandar, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Dakwah MUI Pusat
REPUBLIKA.CO.ID, —Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) menggelar Muktamar XXII di Samarinda 22-24 Februari 2022. Tema yang diusung adalah “Aktualisasi Nilai Wasathiyah Addariyah untuk Indonesia Maju” sebagai afirmasi keniscayaan pembumian moderasi beragama di Tanah Air.
Moderasi beragama di tubuh DDI bukanlah barang baru, karena sejak didirikan oleh almaghfurlah AGH Abdurrahman Ambo Dalle 1938 silam, nilai wasathiyah memang menjadi napas gerakannya.
DDI adalah sebuah gerakan pendidikan dan dakwah yang bertumpu pada pesantren dan bentuk pendidikan lainnya di bawah kepemimpinan dan keteladanan ulama.
Gerakannya lebih dominan pada pendekatan kultural, yaitu agama menjadi moral force, sehingga diajarkan dan didakwahkan secara sistematis dan inklusif. Perubahan yang diharapkan muncul dari dalam (from within).
Berdakwah dengan menyentuh hati dan pikiran yang memengaruhi pola tindakan lebih efektif, konstruktif, dan berjangka panjang. Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan struktural yang lebih identik menyasar kolektivitas dan berjangka pendek.
Melestarikan karakteristik pendekatan kultural ini tentu mujarab, hanya saja lebih bersifat strategi bertahan (catenaccio), ketimbang menyerang (kick and rush), meminjam analogi sepak bola.
Tantangan sudah demikian massif yang meniscayakan pengembangan strategi yang lebih inklusif dan solutif terhadap cepatnya perubahan.
Kiranya, strategi total football yang lebih ofensif, massif, dan mengombinasikan keilmuan ala pesantren dan akomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi akan lebih diperlukan saat ini dalam mengedukasi umat akan keberislaman yang moderat. DDI memiliki ratusan pesantren, madrasah, perguruan tinggi.
Kiprah alumninya di level nasional seperti KH Ali Yafie, mantan Ketum MUI dan Rais Aam PB NU dan selainnya adalah modal sosial bagi eksistensi DDI. Di level masyarakat pedesaan, institusi pesantren lebih riil bersentuhan dengan persoalan keumatan melalui aktivitas keagamaan.
Namun, santri tidak lagi hanya dituntut akrab dengan mimbar masjid, tetapi juga forum seminar. Lebih dari itu, dunia digital menjadi sarana yang tak efektif untuk menularkan ide.
Dalam konteks ini, pesantren yang identik sebagai pendidikan tradisional ditantang untuk berbenah agar dapat merespons laju teknologi komunikasi dan informasi yang terus bertransformasi secara cepat.
Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas
Jika meminjam terminologi Kuntowijoyo (2001), digitalisasi adalah kondisi yang sangat dibutuhkan untuk beradaptasi dengan kekinian, namun itu hanyalah dalam tataran “necessary condition”, belum masuk kategori “sufficient condition”, yaitu kondisi yang mencukupi untuk mengais kesuksesan ala pesantren.
Pasalnya, konsep meraih “berkah” dalam konteks pesantren bak “superstruktur” melebihi kesuksesan material itu sendiri. Untuk mengalap “berkah” ini, diperlukan adab luhur yang terinternalisasi dalam proses pembelajaran di pesantren. Tiada guna berilmu ataupun sukses secara material jika miskin adab.