Sabtu 05 Mar 2022 00:54 WIB

Presiden Prancis Dituduh Targetkan Muslim Secara Sistematis

Presiden Prancis Dituduh Targetkan Muslim Secara Sistematis

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Presiden Prancis Dituduh Targetkan Muslim Secara Sistematis. Foto:   Presiden Prancis Emmanuel Macron memberi isyarat saat dia menunggu Presiden Georgia Salome Zurabishvili di Istana Elysee, Senin, 28 Februari 2022 di Paris.
Foto: AP/Francois Mori
Presiden Prancis Dituduh Targetkan Muslim Secara Sistematis. Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron memberi isyarat saat dia menunggu Presiden Georgia Salome Zurabishvili di Istana Elysee, Senin, 28 Februari 2022 di Paris.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Presiden Prancis, Emmanuel Macron dituduh telah menargetkan penduduk muslimnya secara sistematis dengan serangkaian kebijakannya untuk mengatasi apa yang disebut dengan Separatisme dan Islamisme.

Dilansir middleeasteye, Jumat (4/2), sebuah laporan baru kelompok advokasi Inggris Cage menyoroti penggunaan kekuasaan eksekutif Macron untuk menciptakan kebijakan "Obstruksi Sistematis", yang menargetkan kelompok dan institusi Muslim di Prancis selama empat tahun terakhir.

Baca Juga

Dirancang pada 2017, kebijakan awalnya bertujuan untuk mengatasi adanya pejuang asing yang melarikan diri ke Suriah dan Irak dari wilayah tertentu di Prancis. Kebijakan itu kemudian berubah menjadi proyek nasional yang ditujukan untuk mengatasi “Islamisme” dan "penarikan komunitas" di seluruh negeri.

Sejak itu, Prancis telah memperkenalkan serangkaian undang-undang kontroversial yang oleh beberapa kelompok hak asasi manusia dianggap Islamofobia, termasuk undang-undang anti-separatisme dan kebijakan “piagam imam”.

Kebijakan "Obstruksi Sistematis" dilaksanakan oleh lembaga eksekutif negara yang bertugas menegakkan hukum dan menetapkan kebijakan publik. Menurut kelompok Cage, kebijakan Prancis ini beroperasi dengan memberikan tekanan maksimum pada kelompok Muslim melalui pembentukan "sel departemen" di 101 departemen pemerintah Prancis.

Dokumen pemerintah Prancis menyatakan bahwa sel-sel departemen bertujuan untuk mengkoordinasikan tindakan semua aktor yang mungkin berkontribusi pada perang melawan Islamisme dan penarikan komunitas.

Cage mengatakan, kebijakan penghalang sistematis telah digunakan untuk memilih organisasi Muslim dan memberi negara kekuatan besar untuk memantau dan menutup institusi, membubarkan organisasi secara sepihak dan menyita uang dengan dalih melestarikan nilai-nilai Republik dan memerangi Islamisme atau separatisme.

Kelompok Cage menjelaskan, kebijakan itu digunakan untuk membenarkan penutupan setidaknya selusin masjid, ratusan bisnis milik Muslim dan badan amal, dan penyitaan aset senilai jutaan euro karena dugaan promosi Islamisme.

Di antara organisasi yang ditutup karena diduga mempromosikan propaganda Islam adalah badan amal Muslim Prancis Barakacity dan Collective Against Islamophobia di Prancis (CCIF), yang memantau serangan Islamofobia di seluruh Prancis. Kedua organisasi menyangkal tuduhan itu, tetapi keduanya tetap dibubarkan.

Presiden Barakacity, Idris Sihamedi mengatakan, kebijakan Macron dirancang untuk membuat Muslim Prancis patuh pada negara. “Prancis telah memutuskan untuk menargetkan para pemimpin masyarakat dan telah memberikan segala jenis tekanan yang bisa dibayangkan pada orang-orang yang ingin membela Muslim,” kata Sihamedi dalam sebuah pernyataan.

Cage memberikan laporannya dalam konferensi pers di Paris pada Rabu (2/3) lalu untuk menyerukan pencabutan segera kekuasaan Macron. Kelompok Cage berpendapat bahwa temuannya memenuhi ambang penganiayaan sebagaimana didefinisikan dalam hukum internasional.

Seorang peneliti Cage dan ahli hukum Prancis, Rayan Freschi menjelaskan, laporan itu juga mengungkap bagaimana Islamofobia telah dilembagakan melalui infrastruktur penegakan dan pengawasan massal.

“Empat tahun lalu, pemerintah Prancis memprakarsai kebijakan Islamofobia yang rahasia dan kejam,” ujar Freschi dalam sebuah pernyataan, merujuk pada kebijakan penghalang sistematis atau Obstruksi Sistematis.

Dia menambahkan, laporan ini mendokumentasikan bagaimana negara Prancis dengan cepat membongkar fondasi otonomi komunitas Muslim melalui penganiayaan yang diperhitungkan. “Menyebarkan teror di antara seluruh komunitas agama: 718 penutupan, 24.884 inspeksi, dan 46 juta euro yang diperas oleh negara nanti, inilah saatnya untuk hentikan perburuan penyihir ini terhadap Muslim,” jelas Freschi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement