Demonstrasi bermula pekan lalu di Kota Naisiriyah di selatan Irak, akibat harga roti dan minyak makan yang meroket tajam. Sejak dimulainya invasi Rusia terhadap Ukraina, harga Gandum yang kebanyakan diimpor dari kedua negara, dibanderol 50 persen lebih mahal.
Perang d timur Eropa itu menelanjangi kerawanan pangan di Timur Tengah. Saat ini separuh hasil produksi gandum di Ukraina diekspor ke negara-negara Arab. Jumlah yang tak kalah besar juga dibeli dari Rusia yang merupakan eksportir gandum terbesar di dunia.
Analis pasar mengatakan terganggunya rantai suplai di kedua negara membuat naik harga gandum.
Hal ini menjadi petaka bagi banyak warga di Timur Tengah yang bergantung hidup dari roti. "Di negara-negara ini, harga roti yang terjangkau bagi kelas pekerja adalah bagian dari kontrak sosial,” kata Michael Tanchum, peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR).
Roti sumber pergerakan
Di masa lalu, lonjakan harga roti berulangkali memicu aksi protes yang mengarah pada pergantian politik di Timur Tengah.
Pada 1977 misalnya, Mesir mengalami "kerusuhan roti,” ketika pemerintah memotong subsidi yang memicu demonstrasi berdarah di penjuru negeri. Akibatnya, sebanyak 70 orang meninggal dunia.
Pada 2011, gerakan demonstrasi sipil yang ikut menumbangkan kediktaturan Hosni Mubarak, mengusung slogan "roti, kebebasan dan keadilan sosial” di setiap kegiatannya. Nasib serupa dialami diktatur Sudan, Omar al-Bashir, yang dijungkalkan pada 2019, ketika rakyat tidak lagi sanggup membeli roti karena harga yang meningkat tiga kali lipat.
"Antara kenaikan harga energi dan makanan, krisis di Ukraina bisa memicu aksi protes baru dan destabilisasi di sejumlah negara di Timur Tengah,” tulis lembaga wadah pemikir di AS, Middle East Institute, Februari silam.
Krisis Kemanusiaan
Ferid Beljah, Wakil Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di Bank Dunia , terutama mengkhawatirkan situasi di Suriah, Lebanon dan Yaman. Dengan struktur pemerintahan yang rapuh, kebergantungan yang tinggi terhadap impor gandum bisa membuat situasi menjadi semakin runyam.
Michael Tanchum dari EFCR, melihat datangnya "badai sempurna” ke arah Timur Tengah. Karena selain ganguan pada rantai suplai akibat perang dan pandemi, perubahan iklim semakin menyusutkan kemampuan negara-negara Arab untuk memproduksi bahan pangan sendiri.
"Pada Juni 2021 lalu, tingkat inflasi dan kenaikan harga bahan makanan sudah mencapai level menjelang Musim Semi Arab,” kata dia. "Badai sempurna ini menjelma menjadi tsunami ketika Rusia menginvasi Ukraina.”
Menurutnya satu-satunya pertanyaan adalah seberapa banyak cadangan gandum yang disimpan di setiap negara. Sejak ledakan di pelabuhan Beirut 2020 silam, Lebanon misalnya hanya punya cadangan untuk satu bulan. Mesir sebaliknya punya cadangan untuk empat bulan konsumsi.
Solusi pada Eropa
Namun terganggunya pasokan dari Ukraina dan Rusia bukan berarti jalan buntu bagi Timur Tengah. Menurut Tanchum, negara-negara Eropa Barat bisa turun tangan membantu dengan menyuplai gandum, atau alih teknologi untuk memperkuat ketahanan pangan.
"Dengan mengambil langkah-langkah efektif, kita bisa mengubah ancaman bencana menjadi peluang bagi koopoerasi yang saling menguntungkan,” imbuhnya.
Sebab itu meski sentimen yang mulai mendidih, pakar meyakini kenaikan harga bahan pokok belum akan menggerakkan warga untuk melakukan demonstrasi massal serupa Musim Semi Arab 2011. "Saya tidak yakin bahwa hal ini akan memicu shok besar seperti dulu,” kata John Raine, peneliti senior di International Institute for Srategic Studies.
Dia berdalih, kelompok pro-demokrasi"berada dalam situasi politik yang sama sekali berbeda,” saat ini.
"Pemerintah di Timur Tengah sudah memperkuat kontrol dan memberangus partai-partai oposisi,” kata dia. Meski aksi protes akan terus bermunculan, gerakan akar rumput di negara-negara Arab akan cendrung berusaha mempercepat proses politik yang sudah berjalan, ketimbang memulai sesuatu dari awal.
rzn/yp