REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, RSUD Kota Bogor, dan RS Bhayangkara tingkat IV melakukan Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) terkait pelayanan Medikolegal dan pelayanan kesehatan lain secara gratis, bagi korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masyarakat Kota Bogor.
Kepala RS Bhayangkara tingkat IV Bogor, Fauziah Rihanni mengatakan, masalah Medikolegal bukan hal baru. Sebaliknya, hal itu penting dilakukan kembali karena ada dua aspek yang menonjol dari Medikolegal, yakni aspek hukum dan aspek medis.
“Kasus kekerasan sangat banyak di Kota Bogor. Pelecehan terhadap anak bisa mencapai 15 anak per hari, itu dilakukan secara kontinyu dan baru terungkap setelah beberapa bulan. Dari segi medis ada kesulitan, karena saat diperiksa tanda-tanda kekerasannya sudah hilang semua,” tuturnya, Senin (21/3/2022).
Ia menjelaskan, tujuan PKS itu hanya satu yakni membantu warga yang memerlukan pertolongan. Karena pada kenyataannya di lapangan masih sering mengalami kendala. Dengan adanya PKS keterbatasan dan kendala bisa saling dikoordinasikan.
“Rata-rata melakukan visum. Ada visum mati dan visum hidup. Kalau visum hidup itu KDRT. Nah, untuk melakukan visum yang terpenting bawa laporan polisi, kalau tidak ada laporan polisi kami tidak bisa menangani,” ujarnya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah, memaparkan di 2021 ada peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sebesar 10 persen, atau sebanyak 144 kasus.
Kendati demikian, Syarifah mengaku belum bisa memastikan apakah peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini akibat dari Pandemi Covid-19 yang membuat permasalahan menjadi semakin kompleks. Hal itu mengingat anak-anak belajar di rumah, tinggal di rumah, yang mungkin membuat perubahan sosial di keluarga, hubungan suami istri, kondisi ekonomi yang kemudian memicu kekerasan.
“Mungkin banyak faktor karena peningkatan ini di era Pandemi Covid-19. Hal terpenting bagaimana melakukan pencegahan, pembinaan sampai medikolegal. Ini tugas bersama dan bisa diatasi bersama,” ujarnya.
Ia menuturkan, di hulu ada pembinaan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), seperti program ketahanan keluarga, mengajak perempuan dan anak mengantisipasi tindak kekerasan. Sementara di Dinas Sosial (Dinsos) ada 26 permasalahan sosial yang harus diselesaikan.
Meski begitu, menurut Syarifah, keluarga merupakan ruangan yang sangat individu sehingga tidak terlalu bisa intervensi.
“Seringkali yang sulit ditangani dari keluarga tidak mampu bagaimana mengurus untuk visum atau tes DNA. Adanya PKS ini kami bisa gotong royong, ada pembiayaan dari Jamkesmas, ada bantuan tidak langsung, dan mungkin nanti bisa kerja sama dengan Baznas,” ujarnya.
Syarifah berharap, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak bertambah. Mengingat kinerja pemerintah daerah juga diukur dari penambahan dan pengurangan kasus kekerasannya, apalagi visi Kota Bogor menjadi Bogor sebagai kota ramah keluarga.
“Kita perkuat lembaga dan kerja sama untuk bisa mengurangi kasus kekerasan, koordinasi dengan kepolisian dan kalau terjadi sesuatu harus ada panic button. Koordinasi ini harus kesinambungan di tatanan pembinaan, pengawasan, persoalan hukum sampai persidangan,” ujarnya.