Jumat 25 Mar 2022 09:30 WIB

PBNU dan Pemerintah Harus Perhatikan Sarana dan Prasarana Sekolah Ma'arif

Peran sekolah Ma'arif tak bisa diabaikan karena mereka cermin pendidikan rakyat kecil

Anggota DPD RI, DR Abdul Kholik, mengajar di depan siswa sekolah SMK Ma
Foto: muhammad subarkah
Anggota DPD RI, DR Abdul Kholik, mengajar di depan siswa sekolah SMK Ma

REPUBLIKA.CO.ID, KEBUMEN --- Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Jawa Tengan, DR Abdul Kholik, menegaskan keberadaan sekolah yang ada di bawah naungan lembaga pendikan Ma'arif Nahdlatul Ulama sudah saatnya mendapat perhatian sangat serius. Khususnya, kepada lembaga PB NU sebagai naungan hidup warga Nahdliyin pelu semakin sistematif mendukungnya.

''Saat ini lembaga pendidikan Ma'arif NU berkembang sangat pesat. Dibandingkan keadaan 20 tahun silam keadaanya sudah sangat berubah. Sekolah dilembaga tersebut tampak semakin profesional dan sangat berguna bagi warga nahdliyin yang datang dari kalangan kelompok sosial-ekonomi menengah ke bawah,'' kata Abdul Khlok, ketika meninjau SMK Ma'arif  Kebumen, Kamis siang (24/2/2002).

Kholik mengaku terkejut setelah mendengar sekolah SMK Ma'arif 9 Kebumen mampu mempunyai siswa hingga 1.400 orang. Bahkan, dalam setahun sekolah tersebut menerima siswa baru sampai 400 orang atau hingga 12 kelas.

''Pendidikan Ma'arif sangat diminati warga NU. Maka ke depan harus ada bantuan yang lebih konkrit dan tepat sasaran untuk mengangkat keberadaan mereka. Pemerintah pun harus serius memperhatikanya sebab jumlah siswa SMK Ma'arif sudah sampai dua kali lipat dari sekolah yang negeri. Pemerintah harus campur tangan karena pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara,'' ujarinya.

Menurut Kholik memang yang paling penting di masa sekarang adalah pendidikan karakter sekaligus berkaitan dengan mutu pendidikan sekolah dan siswanya."Misalnya sekolah Ma'arif ingin menggabungkan sistem sekolah dengan pendidikan ala pesantren. Siswa berada dalam asrama. Tapi ini kan sangat susah karena mereka harus menyediakan lahan dan pembiayaan yang tak sedikit. Kendala ini makin susah karena mereka kebanyakan berasal dari orang tua yang boleh dikatakan tak mampu."

photo
Keterangan foto: Senator DPD berbincang dengan siswa SMK Maarif 9 Klirong yang tengah praktik mata pelajaran pembuatan instalasi listrik. - (Muhammad Subarkah)

 

Menanggapi hal itu, Kepala SMK Ma'arif 9 Hasyim Asy'ari mengatakan pemerintah seharusnya kini lebih memperhatikan sekolahnya. Sebab, dalam hal ini pemerintah pada sisi yang lain, harus berterima kasih kepada lembaga Ma'rif untuk mendidikan anak-anak bangsa yang kebanyakan datang dari keluarga yang tidak lagi menganggap penting pendidikan dengan berbagai alasan.

''Siswa kami berasal dari anak-anak TKI yang berada di rantau, anak petani yang orang tuanyakerja serabutan di kota, atau anak-anak yang datang tanpa kehadiran orang tua dan dititipkan di tempat kakek-neneknya. Jadi untuk mendidik mereka sangat tidak gampang. Mereka anak-anak yang butuh perhatian ekstra yang tidak dapat sekolah negeri. Ini karena apa? Mereka sudah terlanjur bebas dan tak mau belajar karena tak ada dorongan dari keluarga. Berbeda dengan di kota, para siswa sekolah kami kalau sore hari harus bekerja membantu orang tua. Jadi tidak gampang. Jauh dari kisah-ksiah pendidikan yang serba ideal itu,'' kata Asy'ari.

Contoh yang paling nyata adalah sekolah yang di kota dan di sekolah negeri berlangsung lima hari itu.''Di sekolah kami tak bisa dilakukan. Kami akan di marahi para orang tua siswa akni nenek atau kakeknya itu. Siswa sekolah kamih arus membantu mereka di sore hari. Maka hari sekolah di kami diputuskan berlangsung enam hari. Dan ini makin efektif untuk mencegah para siswa yang datang dari keluarga yang abai perlunya pendidikan itu keluyuran tak jelas. Jadi sekolah selama enam hari bagi sekolah kami lebih leluasa untuk mendidik karakter para siswa,'' tegasnya.

Bagaimana soal pelaksanaan kurikuluk merdeka? Menjawab pertanyaan ini Asy'ari mengatakan adanya penerapan kurikulum ini membuat pihaknya bingung. Sebab, selain belum didukung modul atau penjelasan yang terinci, para guru merasa tak begitu ideal dilakukan di sekolahnya.''Saya pikir kpnsep seperti itu berada di sekolah di negara maju dan kota misalnya. Di sekolah kami dengan jumlah murid dan karakter siswa serta asal usul keluarga, jelas sangat berat. Salah-salah 'Merdeka Belajar' bagi siswa diartikan bahwa dirinya bebas dari belajar. Mereka bisa sekolah dengan seenaknya. Misalnya tidak ada standar pendidikan yang jelas karena ujian negara dihapuskan,'' kata  Asy'ari.

''Sekali lagi pengelola kebijakan pendidikan jangan terlalu sering merubah kurikulum. Ganti menteri ganti kebijakan. Ini membuat para guru menjadi keropatan dan bingung. Padahal dari segeri sarana dan prasarana banyak sekolah dalam kondisi seperti kami, yakni banyak kekurangan. Mencontoh pendidikan ala negara di Eropa Utara yang maju itu tak bisa di samaratakan di sini,'' ujar Asy'ari.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement