Wanita lain dari Gaza, Nasra al-Shawa, lebih beruntung karena bisa mendapatkan satu potong ayam untuk keluarganya yang terdiri dari lima orang.
"Saya tidak bisa menerima gagasan hidangan ayam tidak ada di meja pada hari pertama. Tetapi saya tidak dapat membeli lebih dari satu potong, karena harganya yang mahal," kata wanita berusia 36 tahun itu.
Hari demi hari, situasi di Jalur Gaza semakin buruk karena memburuknya kondisi ekonomi yang disebabkan oleh blokade Israel, serta keserakahan para pedagang. Ia menyebut sebagian besar warga Gaza merupakan keluarga miskin dan menjadi korban dari krisis berturut-turut di wilayah itu.
Menurut Monitor Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania, sekitar 1,5 juta warga Gaza menjadi miskin karena pengepungan Israel.
Pada 2006, Israel memberlakukan blokade di daerah kantong pantai setelah Hamas, sebuah kelompok Islam Palestina, memenangkan pemilihan umum di wilayah tersebut. Keberhasilan pemilihan mereka mengakibatkan bentrokan dengan saingan dari Fatah, gerakan yang menjalankan Otoritas Palestina (PA).
Israel semakin memperketat blokadenya terhadap Gaza setelah Hamas secara paksa mengambil alih wilayah itu dari Fatah pada 2007.
Selain itu, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperkirakan 80 persen warga Gaza, yang sebagian besar adalah pengungsi, menghadapi kerawanan pangan utama dan bergantung pada bantuan dan bantuan untuk bertahan hidup.
Juru bicara resmi Kementerian Pertanian yang dikelola Hamas di Gaza, Adham Al-Basiouny, mengaitkan kenaikan harga makanan dan daging dengan dampak perang Rusia-Ukraina terhadap harga pangan global.
Lebih lanjut, juru bicara itu mengatakan kenaikan harga unggas disebabkan oleh kelangkaan telur yang dibuahi, akibat serangan flu burung di negara-negara, termasuk Israel, yang memasok telur yang dibuahi dua bulan lalu.
“Kementerian berusaha meningkatkan kuantitas pasokan untuk membatasi kenaikan harga. Tetapi jika harga naik secara global, ini akan berdampak pada semua produk di Gaza," lanjutnya.