REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kawasan Pekojan, sebuah perkampungan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat telah lama dikenal sebagai Kampung Arab. Penyebutan itu dimulai sejak abad 18 di masa kolonial Belanda karena banyaknya imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) menetap di kampung ini.
Pada era tersebut, VOC menetapkan kebijakan Wijkenstelsel, yaitu dengan mengolonikan orang di suatu lokasi berdasarkan etnis mereka. Pekojan dulunya dihuni oleh kaum Muslim Koja atau Muslim India yang berasal dari Bengali.
Nama Pekojan sendiri diambil dari kata Khoja atau Kaja yang merupakan daerah di India dengan penduduknya yang beragama Islam dan bekerja sebagai pedagang. Selain untuk dagang dan syiar Islam, kedatangan orang Hadramaut ke Indonesia sekaligus memperkenalkan berbagai tradisi dan makanan khas, salah satunya bubur syurbah yang biasa disantap ketika berbuka puasa.
"Bubur ini dibawa oleh leluhur saya, jamaah Hadramaut atau disebut juga ulama-ulama Habaib yang datang ke Indonesia untuk meneruskan perjalanan Wali Songo atau Sembilan Wali yang terputus, mereka berdakwah sambil berdagang," kata Habib Achmad Alwi Assegaf, keturunan keenam dari jamaah Hadramaut.
Habib Achmad mengatakan, bubur syurbah yang kemudian dikenal sebagai bubur kuning pekojan ini bercita rasa khas karena menggunakan daging domba. Biasanya, bubur syurbah dinikmati sebagai takjil bersama dengan kopi jahe, teh na’na (mint), hingga kurma.
"Kalau orang Indonesia kan biasanya takjil itu kolak, kue pisang, gorengan, tapi orang Arab itu takjilnya ya bubur syurbah ini, tapi makannya juga nggak sebanyak orang beli bubur di tukang bubur, dikit aja buat pengganjal. Terus ditambah kopi jahe, dan kalau yang suka teh bisa teh na'na, habis itu korma deh," kata dia.