REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Associate Director BUMN Research Group LMUI Toto Pranoto mengatakan PT Pertamina (Persero) menghadapi situasi pelik terkait kenaikan impor BBM imbas perang antara Rusia dan Ukraina. Menurut Toto, Pertamina memiliki risiko lantaran masih impor BBM cukup besar untuk menutupi kebutuhan domestik. Toto menyampaikan harga jual BBM Pertamina selama ini relatif jauh dari harga keekonomian.
"Jadi kalau misal Pertalite dinaikan wajar saja dari sisi Pertamina karena selisih harga keekonomian dan harga jual saat ini cukup tinggi," ujar Toto saat dihubungi Republika di Jakarta, Jumat (15/4).
Toto membandingkan dengan harga jual kompetitor Pertamina seperti BP-AKR yang memang mengikuti harga keekonomian. Meski begitu, lanjut Toto, pemerintah juga seharusnya memberikan dukungan kuat kepada Pertamina jika hendak melakukan penyesuaian harga Pertalite yang merupakan BBM bersubsidi.
"Masalahnya subsidi pemerintah untuk Pertalite juga relatif terbatas. Jadi kenaikan ini dalam jangka pendek saya kira sebagai upaya Pertamina mempertahankan arus kas yang lebih sehat," ucap Toto.
Sementara untuk jangka panjang, Toto menilai Pertamina bisa menggenjot pendapatan dari seluruh subholding, terutama di sektor hilir atau downstream, renewable energy, dan gas. Hal ini akan memberikan Pertamina kemandirian keuangan tanpa adanya kenaikan harga jual BBM.
"Kalau berhasil diutilisasi dengan baik, maka konsep cross subsidy bisa dijalankan sehingga kenaikan harga BBM bisa lebih dikendalikan," kata Toto.