REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pengecer bahan bakar utama Sri Lanka menaikkan harga hingga 35 persen pada Senin (18/4/2022). Kenaikan ini terjadi sebelum pemerintah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait krisis ekonomi yang melanda negara tersebut.
Sri Lanka berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuknya sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Hal itu menyebabkan kekurangan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan esensial.
Pengecer bahan bakar yang menyumbang sepertiga dari pasar lokal, Lanka IOC mengatakan, pihaknya menaikkan harga solar sebesar 75 rupee menjadi 327 per liter. Sementara bensin meningkat sebesar 35 rupee menjadi 367 rupee (1,20 dolar AS) per liter.
Ceylon Petroleum Corporation yang dikelola negara, yang menguasai dua pertiga pasar dan memberlakukan penjatahan bahan bakar minggu lalu, tidak segera menaikkan harganya. Namun sebagian besar stasiun pompanya tidak memiliki bahan bakar.
Lanka IOC, unit lokal Indian Oil Corporation, mengatakan depresiasi tajam mata uang lokal memaksanya untuk melakukan revisi terbaru. Ini terjadi tiga pekan setelah kenaikan 20 persen. Sejak awal tahun, harga bensin telah meningkat sebesar 90 persen sementara solar yang biasa digunakan untuk transportasi umum juga telah naik sebesar 138 persen.
"Devaluasi rupee lebih dari 60 persen selama satu bulan terakhir memaksa Lanka IOC untuk kembali menaikkan harga jual eceran yang berlaku mulai hari ini," kata perusahaan itu seperti dilansir laman Channel News Asia, Senin.
Kenaikan oleh pengecer terjadi ketika menteri keuangan baru Sri Lanka Ali Sabry memimpin delegasi ke Washington untuk mencari pinjaman dana. Pemerintah mencari antara 3 miliar dolar AS dan 4 miliar dolar AS dari IMF untuk mengatasi krisis neraca pembayaran dan meningkatkan cadangan yang menipis.
Pekan lalu pemerintah Sri Lanka mengumumkan gagal bayar utang luar negerinya yang besar. Bursa Efek Kolombo mengumumkan perdagangan akan dihentikan selama lima hari mulai Senin di tengah kekhawatiran keruntuhan pasar.
Sri Lanka berada dalam krisis ekonomi yang mendalam diperparah oleh pandemi Covid-19 yang melanda. Ini berimbas pada pengurangan pengiriman uang pekerja asing dan melumpuhkan sektor pariwisata yang menguntungkan yang masuk dalam sumber utama dolar bagi perekonomian.
Pemerintah memberlakukan larangan impor secara luas pada Maret 2020 untuk menghemat mata uang asing. Sekarang menghadapi rekor inflasi.