REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sepetak rumput dekat kantor Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa di Kolombo, sekitar dua lusin tenda telah didirikan. Keberadaan kamp kecil ini berkembang menjadi titik fokus protes nasional.
Berjalan tanpa alas kaki pada Selasa (12/4/2022) dini hari, setelah semalaman diguyur hujan lebat, Mary Suwen sedang menata ulang tenda-tenda yang dibawa suaminya yang memiliki bisnis wisata. "Negara ini dalam krisis sehingga Anda tidak bisa tinggal di rumah," kata insinyur sipil ini.
"Kita perlu menekan mereka. Mereka harus bertanggung jawab kepada rakyat," ujarnya merujuk pada Rajapaksa.
Ribuan orang telah turun ke jalan-jalan terdekat dan di seluruh Sri Lanka dalam beberapa hari terakhir untuk menyerukan Rajapaksa untuk mundur. Mereka melampiaskan kemarahan pada inflasi yang melonjak dan pemadaman listrik yang berkepanjangan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang meningkat.
Sebuah papan dengan tulisan tangan di sebelah tenda, tidak jauh dari gedung kepresidenan era kolonial yang berdampingan dengan tepi perairan Kolombo, berdiri tanda: "Desa Gota-Go".
Slogan //Gota go back// juga mengacu pada Gotabaya, diserukan pada demonstrasi yang melanda Sri Lanka. Momen ini menjadi puncak kemarahan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya dan telah menyatukan orang-orang dari berbagai agama, etnis, dan kelompok sosial.
Dekat kamp protes pada Senin (11/4/2022) malam, sekelompok biarawati Kristen dengan pakaian putih berjalan melewati barikade polisi, di atasnya 11 pengunjuk rasa duduk meneriakkan, salah satunya memegang poster bertuliskan "Pemerintah Kami Gagal". Tidak jauh dari situ, tiga biksu Buddha berjubah safron cerah berdiri di tengah kerumunan.
Sedangkan di tepi halaman, di belakang beberapa tenda, sekitar 30 pria Muslim duduk dalam dua baris untuk berbuka puasa. Profesor sosiologi di University of Colombo Farzana F Haniffa mengatakan, lokasi protes telah menjadi ruang dengan semua warga Sri Lanka dapat berkumpul menunjukan persatuan yang langka.
Salah satu penyebab munculnya kebersamaan ini adalah kemarahan atas salah urus ekonomi oleh keluarga Rajapaksa. Hingga saat ini Mahinda Rajapaksa, kakak laki-laki presiden, menjabat sebagai perdana menteri dan adik laki-laki mereka, Basil, menjadi menteri keuangan hingga saat ini.
Pemerintah mengatakan sedang melakukan tindakan yang bisa dilakukan untuk menyeret Sri Lanka keluar dari krisis. Namun, beberapa pengunjuk rasa mengatakan mereka hanya akan pergi jika Rajapaksa mengundurkan diri.
Tapi, Mahinda Rajapaksa tetap teguh tidak akan meninggalkan jabatannya. Dia justru mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi, bahwa protes menghambat upaya untuk memperbaiki situasi.
Gagana Atapattu mengatakan dia adalah bagian dari warga yang membawa Gotabaya Rajapaksa berkuasa pada 2019. Hanya saja, dia sekarang menyesal telah memberikan suaranya itu.
"Saya sekarang menderita atas apa yang saya lakukan," katanya sambil membantu mengelola sumbangan makanan, air, dan persediaan lain yang dibawa oleh orang-orang Sri Lanka untuk disimpan di tenda-tenda besar yang terbuka.
Salah satu warga menyumbang adalah YC Kanthi. Dia rela menunggu dalam antrean panjang untuk bahan bakar dan kemudian berkendara sejauh 15 km untuk mengantarkan setumpuk roti berisi bawang karamel untuk para pengunjuk rasa.
"Saya memberi pesanan khusus ke toko roti terdekat dan membuatnya untuk anak-anak ini. Mereka adalah masa depan kita, mereka satu-satunya harapan kita untuk keluar dari kekacauan ini," ujar Kanthi.