Jumlah perusahaan keluarga di Indonesia diprediksi akan bertumbuh tiga sampai empat kali dalam 5-10 tahun ke depan. Angka ini berada di atas rata-rata global. Oleh karena itu, perusahaan keluarga menjadi salah satu harapan untuk merealisasikan potensi ekonomi Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam buku 'Bangkit Setelah Pandemi: Mengembalikan Kesuksesan Perusahaan Keluarga Setelah Pandemi Covid-19' yang diluncurkan oleh konsultan transformasi Daya Qarsa. Buku ini berisi hasil penelitian kepada pemilik perusahaan keluarga dari berbagai industri di Indonesia untuk memastikan keberlangsungan bisnis keluarga khususnya dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Apung Sumengkar, Pendiri & CEO Daya Qarsa mengatakan, buku dan penelitian ini didorong oleh latar belakang bahwa 95% perusahaan di Indonesia adalah perusahaan keluarga berkontribusi sebesar 82% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bisnis keluarga juga memiliki kontribusi sebesar 40% terhadap kapitalisasi pasar di Indonesia dan memiliki pengaruh yang cukup besar di berbagai industri utama, seperti properti (91%), agrikultur (74%), energi (65%), dan consumer goods (45%).
Walaupun begitu, data menunjukkan bahwa hanya 13% bisnis keluarga yang bertahan hingga generasi ketiga. Data ini menunjukkan rintangan yang besar dalam menjaga keberlangsungan bisnis keluarga. Selain itu, 70% bisnis keluarga di Indonesia tidak mampu bertahan dan melanjutkan bisnisnya hingga generasi kedua dan hanya 13% bisnis keluarga yang dapat bertahan hingga generasi ketiga. Persentase yang kecil ini menunjukkan rintangan yang besar dalam menjaga keberlangsungan bisnis keluarga.
"Tantangan tersebut diperparah dengan adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan survei kami, 47% responden menganggap pandemi Covid-19 sebagai kekhawatiran utama bisnis keluarga saat ini," ujar Apung dalam konferensi pers virtual, Senin (18/04/2022).
Untuk mengetahui dampak dari pandemi terhadap bisnis keluarga, Daya Qarsa melakukan wawancara kepada 4 bisnis keluarga dari berbagai industri di Indonesia. Dari hasil wawancara, ditemukan 4 tantangan utama yang dihadapi bisnis keluarga.
Pertama, penurunan bisnis yang sangat signifikan serta kesulitan dalam bertransformasi digital. Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi perekenomian Indonesia. Pandemi menyebabkan ekonomi terkontraksi hingga mencapai 2.07% dan menyebabkan Indonesia masuk ke dalam jurang resesi. Tidak hanya berdampak dari segi ekonomi, pandemi juga membuat tuntutan dan urgensi transformasi digital menjadi semakin besar.
Kebijakan social distancing dan WFH membuat perusahaan harus beralih ke digitalisasi secara cepat. Namun, perubahan ini tentu saja bukan tanpa kendala. Banyak perusahaan keluarga mengalami kendala dalam implementasi digitalisasi. Kendala-kendala yang dialami di antaranya optimalisasi biaya, manajemen SDM, manajemen pendapatan, dan infrastruktur pendukung.
Pelayanan kepada konsumen yang masih belum terdigitalisasi dan mengandalkan proses manual juga memakan biaya yang lebih besar. Selain itu, sistem kerja dan infrastruktur yang masih manual menyebabkan ketidaksiapan karyawan untuk menunjang kerja jarak jauh di masa pandemi.
Hal itu terjadi akibat pemimpin perusahaan keluarga yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya transformasi digital yang berdampak kepada lambatnya strategi digitalisasi perusahaan. Pemimpin perusahaan masih kurang memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung proses operasional sehari-hari.
Kedua, memastikan well-being karyawan, baik dari segi fisik maupun mental serta membenahi budaya dan mindset karyawan yang masih konvensional. Cepatnya perubahan yang terjadi serta besarnya dampak yang ditimbulkan dari pandemi membuat banyak perusahaan keluarga kewalahan. Beberapa tantangan yang dialami bisnis keluarga terkait aspek pengelolaan manusia adalah pengelolaan kesehatan mental, kurangnya informasi mengenai fasilitas kesehatan, kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan, hingga pengelolaan perubahan yang kurang baik.
"Tidak hanya masalah wellbeing karyawan, perusahaan keluarga pun perlu memperhatikan mindset, pemikiran serta budaya yang ada di dalam perusahaannya," kata Apung.
Untuk menyiapkan bisnis keluarga agar lebih agile dan siap menghadapi perubahan yang mendadak, ada beberapa tantangan yang dihadapi yakni pengelolaan perusahaan yang masih tersentralisasi, agility dan mindset inovasi karyawan yang masih rendah, komunikasi masih bersifat satu arah, dan divisi yang masih terkotak-kotak.
Tantangan ketiga, perencanaan dan penerapan manajemen suksesi yang belum maksimal. Keberlangsungan bisnis keluarga bergantung kepada keberhasilan bisnis untuk melakukan manajemen suksesi. Namun, kesuksesan manajemen suksesi membutuhkan upaya dari kedua belah pihak.
Terdapat sebuah pola yang menghambat jalannya proses manajemen suksesi di dalam bisnis, dimulai dengan kurangnya rasa percaya dari manajemen senior/generasi sebelumnya kepada calon pengurus. Selain itu, tidak bersedianya generasi muda untuk menjadi penerus, perencanaan dan persiapan yang kurang matang, kecocokan penerus dengan karyawan dan bisnis serta cara pandang yang berbeda antar generasi.
Tantangan keempat, penerapan sistem tata kelola perusahaan yang profesional. Aspek penting lain dari bisnis keluarga yang masih memiliki banyak kendala adalah tata kelola perusahaan. Kedekatan hubungan yang timbul dalam bisnis keluarga menyebabkan banyak perusahaan seringkali mengelola bisnisnya berdasarkan asas kekeluargaan saja, tanpa adanya tata kelola dan pedoman yang jelas dan profesional.
"Pengelolaan ini dapat menimbulkan berbagai masalah seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang terlibat di dalam bisnis, baik dari sisi keluarga maupun dari luar," ucap Apung. Beberapa tantangan yang kerap dialami bisnis keluarga di antaranya pembagian peran, tanggung jawab dan wewenang yang kurang jelas; kurangnya komunikasi antara para stakeholder di dalam bisnis; dan konflik yang tidak dikelola dengan baik.
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id