REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan pemerintah memiliki empat cara untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan LPG 3 kilogram. Pertama, mengalihkan alokasi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebagian ke subsidi energi.
Kedua, melakukan realokasi anggaran infrastruktur termasuk proyek yang masih dalam tahap uji kelayakan atau proyek yang belum dimulai seperti IKN. Ketiga, lakukan penjualan aset Pertamina atau PLN dapat menutup selisih subsidi maupun dana kompensasi.
Keempat, menggunakan windfall dari naiknya harga komoditas subsidi silang ke naiknya beban subsidi energi. “Diperkirakan ada tambahan pajak dan PNBP sebesar Rp 111 triliun jika harga minyak bertahan di atas 100 usd per barel hingga akhir tahun,” ujar Direktur Celios Bhima Yudhistira ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/4/2022).
Sementara itu Ekonom Center of Reform (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan jika ingin menahan agar tidak terjadi kenaikan harga BBM Pertalite dan elpiji maka pemerintah bisa melanjutkan untuk menanggung beban harga keekonomian dari masing-masing komoditas ini.
“Jika hal ini dilakukan memang ini akan menambah pos belanja negara yang lebih besar,” ucapnya.
Namun demikian, jika melihat dari kinerja dari sisi penerimaan negara, sebenarnya sentimen kenaikan harga komoditas juga berpotensi menambah pundi penerimaan. Hal ini juga terlihat dari pertumbuhan realisasi penerimaan negara yang dapat tumbuh hingga 32 persen, jika dilihat lebih detail beberapa pos penerimaan negara seperti pajak pertambangan, dan PNBP migas dan nonmigas itu dapat tumbuh level pertumbuhan yang cukup signifikan.
“Sehingga dengan sisi penerimaan yang terjaga artinya pemerintah dapat lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan di sisi belanja termasuk di dalam kebijakan menanggung beban kenaikan dari komoditas pertalite dan elpiji,” ucapnya.
Rendy menyebut kenaikan subsidi energi sampai Maret 2022 tidak terlepas dari sentimen kenaikan harga minyak yang saat ini tengah terjadi. Hal ini akhirnya bermuara pada ongkos produksi dan harga jual yang lebih tinggi.
“Saat ini pemerintah masih menanggung selisih harga keekonomian dari produk pertalite dan elpiji namun memang ketika harga meningkat selisih dari kenaikan harga ini menjadi semakin besar dan itulah yang berpotensi ditanggung oleh APBN,” ucapnya.