REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Polisi Peru menegaskan pada Rabu bahwa mereka telah mengusir masyarakat adat yang mendirikan kamp di dalam tambang terbuka raksasa milik perusahaan tambang tembaga Las Bambas MMG. Masyarakat adat memaksa perusahaan milik China itu berhenti beroperasi.
Perusahaan Las Bambas, yang dimiliki oleh MMG Ltd China, memasok 2 persen dari tembaga global dan terpaksa menghentikan produksi tembaga seminggu lalu karena protes tersebut. Penduduk komunitas adat Fuerabamba memasuki tambang itu pada 14 April dan menuntut untuk mengambil kembali apa yang mereka katakan sebagai tanah leluhur mereka.
"Dengan tetap menghormati hak asasi manusia, 676 petugas polisi dari wilayah Apurimac telah memulihkan 100 persen tanah milik Las Bambas yang telah diduduki," kata polisi di Twitter.
"Tiga orang terluka akibat pendudukan secara paksa tersebut, kata pihak berwenang."
Reuters melaporkan pada Selasa bahwa pihak Las Bambas berencana untuk mengusir paksa masyarakat pada Rabu."Kami masih berjuang ... dan kami akan melanjutkan sepanjang malam," kata Edison Vargas, presiden komunitas Fuerabamba kepada Reuters melalui telepon.
Vargas, bagaimanapun, mengakui bahwa sebagian besar anggota masyarakat telah diusir oleh pasukan polisi pada hari sebelumnya dan mereka sekarang berjuang dari luar properti perusahaan.Tidak jelas apakah Las Bambas bisa kembali memulai kembali produksi dalam jangka waktu pendek.
Seorang perwakilan perusahaan tidak segera menanggapi permintaan komentar.Pemerintah Peru mengumumkan keadaan darurat di daerah itu pada Rabu pagi, sebuah langkah yang menangguhkan kebebasan sipil seperti hak untuk berkumpul dan protes.
Komunitas adat Fuerabamba dimukimkan kembali sekitar satu dekade lalu untuk memberi jalan bagi Las Bambas, salah satu tambang tembaga terbesar di dunia. Perusahaan tambang itu berjuang melawan protes berulang dan blokade jalan yang terkadang memaksa mereka untuk menghentikan produksi.
Jika kembali berproduksi, Las Bambas akan menambah pasokan global, yang berpotensi menurunkan harga, meskipun perusahaan tambang itu telah menghadapi gangguan berulang dari masyarakat lokal yang miskin yang menuntut kontribusi keuangan lebih besar.