REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, laju inflasi nasional pada April 2022 mencapai 0,95 persen. Angka inflasi tersebut, merupakan yang tertinggi sejak Januari 2017 silam yang mencapai 0,97 persen.
Direktur Center of Economics and Law Study (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, inflasi sepanjang April lebih disebabkan oleh cost push atau naiknya biaya produksi. Dari biaya produksi terjadi kenaikan harga BBM, PPN, dan harga minyak goreng serta bahan pangan seperti daging sapi dan daging ayam.
"Kenaikan harga dipicu oleh kebijakan pemerintah mendorong produsen menyesuaikan harga jual. Jika inflasi sisi penawaran terlalu tinggi sementara pendapatan masyarakat belum bisa menerima kenaikan harga maka konsekuensi nya terjadi pelambatan konsumsi rumah tangga," ujarnya kepada Republika, Senin (9/5).
Ia menambahkan, beberapa produsen bahkan terpaksa menahan harga jual dengan memangkas marjin. Hal itu dinilai akan berimbas pada efisiensi termasuk pengurangan karyawan.
Menurutnya, imbas inflasi juga berdampak pada semakin cepatnya otoritas moneter naikkan bunga acuan.
"Jika suku bunga naik terlalu tinggi efeknya akan kontraksi ke ekonomi. Cost of fund atau biaya pinjaman dana bagi pelaku usaha akan jauh lebih mahal. Konsumen juga menanggung biaya bunga yang naik seperti pembiayaan KPR dan kredit kendaraan bermotor," tutur Bhima.
Dirinya menuturkan, tantangan paling serius dari inflasi muncul pascalebaran. Hal itu karena, harga minyak mentah yg bertahan diatas 100 dolar AS per barel akan memicu penyesuaian harga B, tarif listrik, dan LPG.
"Harga pangan berisiko meningkat secara kontinu hingga akhir tahun," kata dia. BPS melanjutkan, dengan laju inflasi 0,95 persen pada April, maka inflasi tahun kalender mencapai 2,15 persen sedangkan inflasi tahun ke tahun sebesar 3,47 persen.
Adapun, laju inflasi pada April 2022 juga lebih tinggi dari inflasi Maret yang masih sebesar 0,66 persen. Lebih tinggi pula dari April 2021 yang hanya 0,13 persen.