REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Utusan Khusus Uni Eropa untuk Afghanistan Tomas Niklasson mengatakan, ditutupnya sekolah bagi anak perempuan Afghanistan, termasuk aturan mengenakan burqa di ruang publik, menunjukkan bahwa pemerintahan Taliban tak mendengarkan suara rakyatnya. Hal itu membuat Uni Eropa yakin saat ini Afghanistan berada dalam cengkeraman “tren yang lebih terbelakang”.
Niklasson mengatakan, ditutupnya sekolah bagi siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Afghanistan telah menimbulkan keraguan di tubuh Uni Eropa mengenai seberapa besar janji Taliban bisa diandalkan. “Sepertinya pemerintah tidak benar-benar mendengarkan rakyatnya,” ujarnya setelah mengakhiri kunjungan lima harinya ke Kabul, Kamis (12/5), dikutip laman Al Arabiya.
Saat menguasai Afghanistan pada Agustus tahun lalu, Taliban memang berjanji akan memenuhi hak-hak dasar perempuan Afghanistan, termasuk dalam memperoleh pendidikan. Namun janji tersebut kini dipertanyakan komunitas global.
Niklasson turut menyoroti keputusan Taliban mewajibkan perempuan Afghanistan mengenakan burqa tradisional saat berada di ruang publik. Jika peraturan itu tak dipatuhi, saudara laki-laki dari perempuan terkait akan dihukum. Peraturan semacam itu pernah diterapkan Taliban saat memerintah Afghanistan pada 1996-2001.
Niklasson menekankan apa yang saat ini dibutuhkan dan diinginkan kaum perempuan Afghanistan adalah hak untuk bekerja, memperoleh pendidikan, dan akses ke fasilitas kesehatan. “Bukan instruksi tentang cara berpakaian,” ucapnya.
Terkait pendidikan, hingga kini Taliban belum mengumumkan kapan sekolah untuk siswi SMP dan SMA akan dibuka kembali. “Jika sekolah dibuka relatif segera di seluruh negeri di semua tingkatan untuk anak laki-laki dan perempuan, ini bisa menjadi langkah maju yang positif dan positif,” kata Niklasson.
Menurutnya, penghapusan larangan pendidikan bagi anak perempuan di Afghanistan akan menjadi perubahan dramatis. Apalagi jika hal itu dibarengi dengan jaminan untuk kebebasan sipil lainnya, termasuk perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Niklasson yakin, jika Taliban mengambil langkah-langkah semacam itu, pemerintahannya bakal segera memoperoleh pengakuan dari dunia internasional. Sejak menguasai Afghanistan pada Agustus tahun lalu, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan Taliban.