Senin 16 May 2022 00:25 WIB

Ilmuwan Prancis yang Pimpin Proyek Fusi Nuklir Wafat

Keberhasilan fusi nuklir dipercaya dapat menjadi sumber energi bersih tak terbatas.

Red: Friska Yolandha
Direktur Jenderal Organisasi ITER, Bernard Bigot berbicara kepada perwakilan dan jurnalis di aula pertemuan ITER di Saint-Paul -Lez-Durance, Prancis selatan, Selasa, 28 Juli 2020. Bigot dilaporkan meninggal dunia pada Sabtu (14/5/2022) pada usia 72 tahun.
Foto: AP Photo/Daniel Cole
Direktur Jenderal Organisasi ITER, Bernard Bigot berbicara kepada perwakilan dan jurnalis di aula pertemuan ITER di Saint-Paul -Lez-Durance, Prancis selatan, Selasa, 28 Juli 2020. Bigot dilaporkan meninggal dunia pada Sabtu (14/5/2022) pada usia 72 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Bernard Bigot, seorang ilmuwan Prancis yang memimpin upaya internasional besar-besaran untuk menunjukkan bahwa penyatuan nuklir (nuclear fusion) dapat menjadi sumber energi yang layak, dilaporkan meninggal dunia. Dia berusia 72 tahun.

Organisasi di balik  International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) mengatakan Bigot meninggal pada Sabtu (14/5/2022) karena penyakit yang tidak ditentukan. Bigot merupakan direktur jenderal organisasi itu sejak Maret 2015. Bigot mendekati titik tengah masa jabatan keduanya, yang akan berakhir pada 2025.

Baca Juga

Sebuah pernyataan ITER menggambarkan kematiannya sebagai pukulan tragis bagi komunitas fusi global. Wakilnya, Eisuke Tada, akan mengambil alih kepemimpinan proyek ITER selama pencarian penerus Bigot.

Tidak seperti reaktor fisi yang ada yang menghasilkan limbah radioaktif dan kadang-kadang bencana kehancuran, para pendukung fusi mengatakan Bigot menawarkan pasokan energi yang bersih dan hampir tak terbatas jika para ilmuwan dan insinyur dapat memanfaatkannya. Anggota proyek ITER — China, Uni Eropa, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan Amerika Serikat — sedang membangun perangkat berbentuk donat yang disebut tokamak di Saint-Paul-les-Durance di Prancis selatan. 

Itu disebut sebagai proyek sains terbesar di dunia. Tujuannya adalah untuk menjebak hidrogen yang telah dipanaskan hingga 150 juta derajat Celcius (270 juta Fahrenheit) cukup lama untuk memungkinkan atom bergabung bersama.

Proses ini menghasilkan pelepasan panas dalam jumlah besar. Sementara ITER tidak akan menghasilkan listrik, para ilmuwan berharap itu akan menunjukkan bahwa reaktor fusi semacam itu dapat menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi.

ITER sekarang lebih dari 75 persen selesai. Para ilmuwan bertujuan untuk menyalakan reaktor pada awal 2026.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement