REPUBLIKA.CO.ID., ANKARA -- Swedia dan Finlandia menolak sebagian besar permintaan Turki untuk ekstradisi para teroris selama lima tahun terakhir, menurut sumber-sumber Turki.
Hal tersebut menjadi sebuah masalah yang menjadi lebih penting karena kedua negara itu ingin bergabung dengan aliansi militer NATO bersama Turki.
Kementerian Kehakiman Turki, sesuai dengan putusan pengadilan, meminta ekstradisi 12 teroris dari Finlandia – setengahnya berafiliasi dengan kelompok teror PKK, dan setengahnya lagi dengan Organisasi Teroris Fetullah (FETO), kelompok di balik kudeta yang digagalkan pada 2016.
Selama periode yang sama, Swedia juga menolak untuk mengekstradisi 21 teroris, 10 anggota FETO, dan 11 anggota PKK.
Namun, Swedia dan Finlandia, yang telah menyatakan niat mereka untuk mengajukan keanggotaan di NATO, belum menanggapi secara positif permintaan dari Turki – anggota NATO selama lebih dari 70 tahun – untuk ekstradisi total 33 teroris.
Dari 33 permintaan selama lima tahun terakhir, 19 di antaranya ditolak sementara tidak ada tanggapan yang diberikan untuk lima lainnya.
Sementara itu, proses hukum atas permintaan ekstradisi dari Turki untuk sembilan teroris lainnya—dua dari Finlandia dan tujuh dari Swedia—masih berlangsung.
Dalam lebih dari 35 tahun kampanye terornya melawan Turki, PKK – yang terdaftar sebagai organisasi teroris oleh Turki, AS, dan Uni Eropa (UE) – telah bertanggung jawab atas kematian lebih dari 40.000 orang, termasuk wanita, anak-anak, dan bayi.
FETO dan pemimpinnya yang berbasis di AS Fetullah Gulen mengatur kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016 di Turki, di mana 251 orang tewas dan 2.734 terluka.
Pemerintah Turki menuduh FETO berada di belakang kampanye jangka panjang untuk menggulingkan negara melalui infiltrasi institusi Turki, khususnya militer, polisi, dan peradilan.
Selama beberapa dekade, Swedia dan Finlandia mengambil sikap kebijakan luar negeri yang netral di kawasan itu, tetapi perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung yang dimulai pada 24 Februari memicu perubahan dalam pendekatan mereka, yang mana rakyat dan sebagian besar politisi lebih memilih bergabung dengan aliansi NATO.