REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Selama lebih dari satu dekade sebagai pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un telah menjadikan kemandirian sebagai kunci utama pemerintahannya. Hanya saja, gelombang penyebaran virus corona varian Omicron menempatkannya dalam dilema.
Kim berada dalam pilihan antara mempertahankan harga dirinya dengan menolak atau menerima bantuan untuk memerangi penyakit itu. "Kim Jong-un berada dalam dilema, dilema yang sangat besar," kata profesor di University’s Institute for Far Eastern Studies di Seoul Lim Eul-chul.
"Jika dia menerima bantuan Amerika Serikat atau Barat, itu dapat menggoyahkan sikap kemandirian yang telah dia pertahankan dengan teguh dan kepercayaan publik kepadanya dapat melemah," ujarnya.
Wabah virus corona di Korea Utara mungkin terkait dengan parade militer besar-besaran di Pyongyang pada akhir April yang diselenggarakan Kim untuk menampilkan senjata baru dan pasukannya. Pawai itu menarik puluhan ribu tentara dan penduduk dari seluruh negeri.
Setelah acara tersebut, Kim menghabiskan beberapa hari mengambil lusinan foto bersama peserta parade, yang semuanya tanpa menggunakan masker. Sebagian besar foto melibatkan puluhan atau ratusan orang.
Setelah acara itu, Kim berhadapan dengan penyebaran penyakit yang menempatkannya dalam pilihan sulit, bahkan tidak melakukan apa-apa bisa menjadi bencana. Sejak mengakui penyebaran wabah Covid-19 pekan lalu, Korea Utara telah melaporkan demam yang menyebar secara eksplosif.
Kondisi itu telah menewaskan 56 orang dan membuat sakit sekitar 1,5 juta lainnya. Pengamat luar menduga sebagian besar kasus itu disebabkan oleh virus corona. Media pemerintah Korea Utara mencoba mengatur arus informasi yang beredar, sehingga kemungkinan kondisi sebenarnya kali lebih buruk.
Korea Utara tidak memiliki tes Covid-19 yang memadai dan para ahli mengatakan itu secara signifikan mengecilkan kematian untuk menghindari kemungkinan kerusuhan publik yang dapat merugikan Kim secara politik. Beberapa pengamat mengatakan, angka kematian yang dinyatakan rendah untuk negara dengan jumlah populasi 26 juta orang tidak divaksinasi dan persediaan obat-obatan terbatas.
Kim sebelumnya telah menolak jutaan dosis vaksin yang ditawarkan oleh program distribusi COVAX yang didukung PBB. Setelah negara itu mengakui adanya wabah, Korea Selatan dan Cina menawarkan untuk mengirim vaksin, obat-obatan, dan pasokan medis lainnya.
Sedangkan Amerika Serikat mengatakan mendukung upaya bantuan internasional, meskipun saat ini tidak memiliki rencana untuk berbagi pasokan vaksinnya dengan Korea Utara. Menerima bantuan dari luar akan membantu, menerima uluran tangan tersebut menempatkan Kim pada posisi yang sulit.
Kim telah berulang kali menggembar-gemborkan negaranya sebagai negara yang "tak tertembus" terhadap pandemi selama dua tahun terakhir. Namun, pada pekan lalu, dia mengatakan negaranya menghadapi pergolakan besar dan para pejabat harus mempelajari bagaimana China, satu-satunya sekutu utama negaranya, dan negara-negara lain telah menangani pandemi.
Kemungkinan besar Kim pada akhirnya ingin menerima pengiriman bantuan China, tetapi tidak dari Korea Selatan, Amerika Serikat, atau COVAX. "Mengatasi ‘pergolakan besar’ dengan bantuan dari apa yang disebut Korea Utara sebagai imperialis Amerika dan dari Korea Selatan tidak akan ditoleransi karena itu bertentangan dengan martabat pemimpin tertingginya,” kata profesor Korea University Nam Sung-wook.
Kemungkinan bantuan tersebut pun akan diterima secara informal tanpa publikasi. Menurut analis Seo Yu-Seok dari Institute of North Korean Studies, Cina kemungkinan akan menyetujui ini karena memandang pengiriman bantuan sebagai cara untuk meningkatkan hubungan dengan mitra saat menghadapi Barat.
Tapi analis Cho Han Bum dari Korea Institute for National Unification mengatakan, Korea Utara mungkin mencari dukungan Korea Selatan karena mempertanyakan efektivitas vaksin China. Dia mengatakan pengiriman Korea Selatan melalui perbatasan darat Korea juga akan lebih cepat.