REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali berlakunya kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Hal ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dalam negeri.
Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menilai kebijakan diberlakukan DMO tidak bermasalah bagi pelaku usaha.
“Sebab produksi kita 49 juta sampai 50 juta ton, sementara menurut data tahun lalu, kebutuhan lokal termasuk biodiesel sekitar 18 juta ton. Artinya tidak masalah,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (20/5/2022).
Sementara itu Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menambahkan pihaknya masih menunggu regulasi secara tertulis mengenai hal tersebut.“Kita belum tahu jelas, DMO atau DPO pada Februari atau Maret lalu tak berhasil. Maka diubah regulasinya pada 16 Maret 2022. Jadi lebih baik sabar dulu tunggu regulasi tertulis,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal menyampaikan hal tersebut, karena permasalahan utama berada distribusi dari produsen minyak goreng ke konsumen.
“Apakah efektif, belum tentu, karena akar masalah itu distribusi dari produsen ke konsumen. Bisa efektif dengan syarat kalau membenahi tata kelola distribusi di hilir dilakukan,” ucapnya.
Faisal melihat, pembukaan pintu ekspor tersebut tentunya memiliki syarat (DMO dan DPO) serta restriksi, yakni pungutan yang bersifat progresif.
“Sekarang sudah ada penangkapan oknum-oknum bottleneck dalam penyaluran subsidi migor. Pemerintah berencana untuk distribusi khusus untuk masyarakat kelas bawah, ini salah satu langkah baik jangka pendek yang dilakukan, tinggal bagaimana nanti implementasinya,” ucapnya.