Ahad 29 May 2022 05:03 WIB

Lepas dari Jeratan Covid Masuk ke Jeratan Hepatitis dan Cacar Monyet

Pandemi covid mengajarkan manusia menghadapi wabah dengan optimisme.

Red: Indira Rezkisari
Warga berbelanja di Pasar Pramuka, Jakarta, Jumat (20/5/2022). Seiring dengan diberlakukannya kebijakan pelonggaran pemakaian masker pada masa transisi menuju endemi, sejumlah pedagang masker di Pasar Pramuka mengaku mengalami penurunan jumlah permintaan. Pada bulan Juli 2021 pedagang mampu menjual sebanyak 8 karton atau 40 kardus kecil dan kini penjualan sebanyak 2 sampai 4 dus kecil dalam sehari. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga berbelanja di Pasar Pramuka, Jakarta, Jumat (20/5/2022). Seiring dengan diberlakukannya kebijakan pelonggaran pemakaian masker pada masa transisi menuju endemi, sejumlah pedagang masker di Pasar Pramuka mengaku mengalami penurunan jumlah permintaan. Pada bulan Juli 2021 pedagang mampu menjual sebanyak 8 karton atau 40 kardus kecil dan kini penjualan sebanyak 2 sampai 4 dus kecil dalam sehari. Republika/Thoudy Badai

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 mungkin akan segera berakhir. Saya bilang mungkin karena tidak ada yang pernah benar-benar tahu. Tapi faktanya di seluruh dunia penurunan kasus Covid-19 terjadi. Dunia seakan sibuk kembali. Perbatasan-perbatasan membuka pintunya untuk tamu dari negara lain. Jalanan Ibu Kota pun dipadati lagi kendaraan.

Masyarakat namun seperti diingatkan kalau belum waktunya menggas pol ritme kehidupannya lagi. Lepas dari jeratan Covid-19, penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak pernah didengar kuping awam kini muncul.

Baca Juga

Mulai dari hepatitis akut misterius di anak, cacar monyet di dewasa, hingga penyakit mulut dan kuku di hewan ternak. Pandemi Covid-19 telah membuat manusia menjadi lebih waswas ketika berhadapan dengan penyakit yang mudah menyebar. Rasanya belum selesai bernapas, kita kok sudah dipertemukan dengan penyakit baru lagi.

Cacar monyet misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengatakan, hampir 200 kasus cacar monyet telah dilaporkan di lebih dari 20 negara yang non-endemik dengan penyakit tersebut. Kendati demikian, WHO yakin penyebaran penyakit bisa dikendalikan.

WHO mengungkapkan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengapa kasus cacar monyet menyebar di negara-negara non-endemik. Sebab biasanya penyakit tersebut hanya ditemukan di Afrika. Menurut WHO, belum ada bukti juga bahwa perubahan genetik pada virus bertanggung jawab atas penyebaran penyakit yang sedang berlangsung di Amerika dan Eropa.

Direktur Pandemi dan Penyakit Pandemi WHO, Dr Sylvie Brand, mengatakan kemungkinan alasan cacar monyet bisa sampai menyebar sampai keluar negara endemik adalah karena perubahan perilaku manusia. WHO pun memprediksi jumlah kasus cacar monyet masih akan meningkat.

Penyakit lain yang juga sedang menjadi sorotan adalah hepatitis akut. Pasalnya, penyebab penyakit ini masih misterius. WHO sejauh ini telah menerima 650 laporan kemungkinan kasus hepatitis akut pada anak-anak tetapi sampai saat ini  penyebabnya masih belum diketahui dan sedang diselidiki. Sebanyak 650 kasus tersebut telah dilaporkan dari 33 negara dengan 99 kasus tambahan menunggu klasifikasi.

Lalu ada lagi penyakit mulut dan kuku (PMK) di hewan ternak berkuku belah. PMK sebenarnya sudah lama tidak ada di Indonesia. Karena itu muncul dugaan PMK bisa kembali ada di Indonesia karena masuknya impor ilegal hewan ternak dari negara yang belum bebas PMK.

PMK memang hanya menyerang hewan ternak dan tidak bisa menular ke manusia. Tapi penyakit di hewan ternak yang sehari-hari menjadi konsumsi manusia bisa menjadi wabah bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Stok daging bisa jadi berkurang hingga merugikan peternak. Apalagi saat ini Idul Adha sudah dekat.

Lelah rasanya, ya. Satu penyakit hilang, muncul lagi yang lain. Seakan ingin berkata, kapan selesainya ini semua.

Tapi mungkin penyakit-penyakit seperti itu tidak akan bisa hilang bahkan mungkin muncul terus varian barunya di dunia. Belajar dari pandemi Covid-19 manusia namun harus selalu berharap baik. Lihat saja kita dulu di Maret 2020. Hidup rasanya suram. Tapi dua tahun setelahnya kondisi sudah jauh lebih baik bukan? Vaksin sudah tersedia, obat Covid-19 juga mulai bermunculan. Manusia di seluruh dunia bahkan mungkin sudah paham betul cara berhadapan dengan penyakit ini dibanding dua tahun lalu.

Saya ingat di awal pandemi menelepon seorang sahabat sambil menangis. “Saya nggak tahu nih, kita bisa ketemu lagi apa nggak di masa depan? Bagaimana kalau gue nggak lulus ujian ini? Gue takut.”

Begitu kira-kira isi kalimat saya ke sahabat. Fast forward, kita mengalami banyak hal. Mulai dari kehilangan sumber pendapatan karena pandemi, kehilangan kerabat dan teman karena Covid-19, sampai saling menyemangati dan membantu saat Covid-19 hinggap ke rumah.

Saya lalu ingat lagi ucapan saya ke sahabat tersebut saat dia positif Covid-19 awal tahun ini. “Untung yah sudah booster jadinya gejalanya ringan saja.”

Rasanya saat itu, ketika sahabat saya positif Covid-19, saya tidak takut. Berbeda sekali dengan obrolan di awal pandemi kita, yang saya sampai menangis-nangis. Meratapi masa depan yang saat itu kesannya begitu gelap buat saya.

Bagi saya, pandemi Covid-19 mengajarkan banyak hal. Penyakit itu seperti kesulitan. Dia akan selalu ada. Maka manusia pun harus bahu membahu untuk mengatasinya. Kalau sudah begitu, apapun wabah yang muncul, apapun kesulitan yang datang, insyaallah semua bisa diatasi.

Sementara itu, saya memilih mengikuti anjuran para pakar. Untuk hidup bersih dan sehat. Kesannya sepele memang, tapi agaknya kebiasaan mencuci tangan, makan bersih, menjalani pola hidup sehat sudah mutlak menjadi bagian dari hidup manusia modern yang terus menerus digempur aneka virus.

*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement