REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga telur ayam ras menjadi salah satu pemicu utama laju inflasi Mei 2022 yang mencapai 0,4 persen. Peternak ayam petelur atau layer menjelaskan, kenaikan harga telur ayam memang murni diakibatkan biaya produksi yang mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19.
Presiden Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi, mengatakan, biaya produksi telur ayam terus mengalami kenaikan. Sementara, acuan harga pemerintah terhadap daging dan telur ayam ras tidak disesuaikan sejak 2020 lalu.
Di sisi lain, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengamanatkan pemerintah untuk mengawal stabilitas komoditas pangan sehingga tidak memberatkan masyarakat. Namun nyatanya upaya yang ditempuh belum optimal.
"Jadi inflasi (karena telur ayam) karena apa? Ya karena regulasi pun tidak bisa mengantisipasi kondisi yang terjadi. Jadi akibat regulasi pemerintah itu sendiri," kata Musbar kepada Republika.co.id, Jumat (3/6/2022).
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 menetapkan acuan harga telur ayam ras di tingkat peternak sebesar Rp 19 ribu hingga Rp 21 ribu per kilogram (kg) dan di konsumen Rp 24 ribu per kg. Musbar mengatakan, tingkat harga itu dibuat saat harga pakan ternak layer masih di kisaran Rp 5.000 hingga Rp 5.500 per kg dengan tingkat harga jagung Rp 4.500 per kg.
"Itu diterbitkan Februari 2020, sekarang sudah Juni 2022 berarti sudah 28 bulan belum direvisi. Padahal, harga pakan ternak saat ini sudah sampai Rp 6.800 sampai Rp 7.200 per kg, jadi naik lebih 25 persen," jelasnya.
Tingginya harga pakan ternak dipengaruhi oleh kenaikan harga jagung yang menjadi bahan baku utama pakan ternak layer. Saat ini, Musbar menuturkan, harga jagung sudah dihargai sekitar Rp 5.500-Rp 6.000 per kg.
Dengan kenaikan biaya pakan yang menyumbang besar biaya produksi, harga normal telur ayam ras dari peternak saat ini sudah menyentuh Rp 23 ribu hingga Rp 25 ribu per kg. Sementara, harga wajar di konsumen kisaran Rp 27 ribu-Rp 29 ribu per kg karena rata-rata selisih harga dari peternak dan konsumen Rp 4.000 per kg.
Namun, Musbar menuturkan harga di konsumen saat ini bahkan mencapai Rp 31 ribu per kg sehingga selisih harga naik menjadi Rp 6.000 per kg. Menurutnya, wajar bila pedagang, dari distributor hingga penjual akhir, menaikkan margin lantaran kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Musbar juga memprediksi, tingkat harga saat ini kemungkinan merupakan keseimbangan baru yang akan berlaku terus ke depan. Karena itu, pemerintah harus melakukan sosialiasi soal kondisi usaha perunggasan rakyat. Intervensi juga harus dilakukan oleh pemerintah sesuai amanat undang-undang.
"Badan Pangan Nasional juga harus bergerak dan berkoordinasi dengan Kementerian Sosial. Berikan bantuan sosial bukan bentuk tunai, tapi bahan pokok penting," katanya.