REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produsen minyak goreng meminta agar distribusi minyak goreng (migor) curah hasil domestic market obligation (DMO) diserahkan ke Badan Usaha Milik Negara. Pasalnya, pendistribusian minyak goreng hasil DMO dinilai kurang menarik bagi swasta lantaran untung yang kecil.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerapkan kebijakan DMO serta domestic price obligation (DPO) untuk menjamin pasokan minyak sawit dalam negeri sekaligus dengan harga terjangkau. Kebijakan itu sudah berlaku per 1 Juni 2022.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menjelaskan, para produsen migor telah mendapatkan pasokan minyak sawit hasil DMO dari produsen di hulu dengan harga Rp 9.500 per liter. Harga tersebut jauh di bawah rata-rata harga CPO internasional yang lebih dari Rp 15 ribu per liter.
Selanjutnya, produksi migor curah itu didistribusikan oleh Pelaku Usaha Jasa Logistik dan Eceran (PUJLE) dan bertanggung jawab agar harga di tingkat konsumen tercapai sesuai HET Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilogram (kg). Menurut Sahat, sistem tersebut lebih mempermudah pencapaian target pemerintah.
"Hanya saja, berapa banyak perusahaan yang sudah menjadi PUJLE? Itu baru satu, ID Food (Holding BUMN Pangan), padahal Indonesia ini luas. Jadi kita pikir kapan ini bisa mulai berlangsung?" kata Sahat kepada Republika.co.id, Selasa (7/6/2022).
Hingga saat ini, kata Sahat, ia juga belum mengetahui detail kemampuan ID Food dalam menyalurkan migor curah hasil DMO. Padahal, Kementerian Perdagangan menargetkan 10 ribu titik penjualan migor curah. Di mana, ribuan titik itu harus dikontrol oleh PUJLE melalui sistem digital.
"Saya mendorong supaya (produsen-produsen) bisa segera berbicara dengan ID Food, ke mana saja mereka mau mendistribusikan dan berapa volume per bulan mereka mampu," katanya.
Sahat pun mendorong agar Bulog yang juga merupakan BUMN turut menjadi distributor bersama ID Food. Ia menyebut, Bulog saat ini masih dalam tahap persetujuan pemerintah memastikan kesiapan sistem digital.
Menurutnya, dengan ditambahnya BUMN sebagau PUJLE, penyaluran akan semakin luas dan BUMN dapat menguasai pendistribusian migor curah hasil DMO di dalam negeri. Pasalnya perusahaan swasta kurang tertarik dengan program pemerintah itu lantaran untung yang kecil.
"Katakanlah biaya distribusi Rp 4.000 per kg sedangkan HET Rp 15.500 per kg, berarti dari produsen maksimal melepas harga Rp 11.500 per kg (sedangkan harga CPO Rp 10.600 per kg)," katanya.
Lantaran margin yang kecil itu, Sahat tak menampik swasta tak bisa bekerja maksimal dalam program pemerintah. Sebaliknya, jika dikerjakan oleh BUMN akan jauh lebih maksimal karena penugasan langsung dari pemerintah.
GIMNI juga mengharapkan agar BUMN bisa menguasai penyaluran migor curah DMO sedikitnya 85 persen dari total kebutuhan nasional.
Menteri Koordinator Kematiritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya mengatakan, pemerintah menetapkan kuota DMO minyak sawit bulan Juni sebesar 300 ribu ton. Adapun, DPO dipatok sebesar Rp 10.600 per kg atau Rp 9.500 per liter.
Kuota tersebut menurut pemerintah lebih tinggi 50 persen dari rata-rata kebutuhan bulanan untuk migor curah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan, produsen CPO di hulu siap membantu produsen minyak goreng di hilir dengan memenuhi kewajiban DMO dan DPO.
"Kalau di hulu tidak ada masalah, permintaan di hulir akan dipenuhi," kata Eddy.