REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Sedikitnya 300 nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) mendatangi gedung DPRD Kabupaten Indramayu, Kamis (9/6). Dalam aksinya, mereka menyampaikan sejumlah aspirasi untuk disampaikan kepada pemerintah pusat.
Aspirasi itu seputar berbagai persoalan yang mereka alami akibat kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021. Salah satunya mengenai besaran tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selain itu, nelayan juga memprotes mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) industri untuk kapal nelayan. Padahal di saat bersamaan, harga jual ikan justru rendah sehingga tidak bisa mengimbangi mahalnya harga solar.
Saat ini, harga solar industri untuk kapal nelayan mencapai Rp 16.900 per liter. Sedangkan harga ikan, rata-rata di kisaran Rp 15 ribu per kilogram. Hal itu akhirnya membuat banyak kapal tidak melaut dan nelayan tidak bisa memperoleh penghasilan.
"Hari ini kami ingin menyampaikan aspirasi kepada DPRD Indramayu untuk bisa diteruskan kepada Presiden Jokowi," kata Koordinator Aksi, Kajidin.
Namun, para nelayan harus menelan kekecewaan. Pasalnya, mereka sama sekali tidak ditemui oleh satupun anggota DPRD Kabupaten Indramayu karena tidak berada di tempat.
"Kami merasa kecewa. Padahal aksi hari ini bukan untuk mendemo dewan, hanya ingin meminta agar aspirasi kami disampaikan kepada presiden," keluh Kajidin.
Untuk itu, lanjut Kajidin, para nelayan akan langsung datang ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi mereka. Mereka akan mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), DPR RI dan Istana Negara.
Hal itupun sesuai dengan kesepakatan FNB dalam pertemuan di Tegal pada 1 Juni 2022. Mereka sepakat memberikan waktu selama satu bulan kepada pemerintah untuk menanggapi tuntutan mereka.
Ada sejumlah tuntutan yang dilayangkan oleh para nelayan kepada pemerintah. Yakni: Pertama, memohon revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021. Meliputi indeks tarif PNBP pasca-produksi untuk ukuran kapal lebih dari 60 GT adalah dua persen serta kapal ukuran antara lebih dari 60 GT dan kurang dari 1.000 GT adalah tiga persen, menolak masuknya kapal asing dan eks asing ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, dan agar melakukan penurunan tarif tambat labuh.
Kedua, meminta alokasi izin penangkapan dua WPP yang berdampingan. Ketiga, mengusulkan adanya harga BBM industri khusus untuk kapal nelayan di atas 30 GT dengan harga maksimal Rp 9 ribu per liter.
Keempat, meminta alokasi tambahan BBM bersubsidi jenis solar untuk nelayan ukuran maksimal 30 GT dan Pertalite bersubsidi untuk kapal di bawah 5 GT. Kelima, merevisi sanksi denda administrasi terkait pelanggaran WPP dan Vessel Monitoring System (VMS) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP).
Keenam, meminta pemerintah lebih mengedepankan tindakan pembinaan dalam pelaksanaan penegakan hukum kapal perikanan. Ketujuh, meminta pemerintah agar mengakomodir kapal-kapal eks cantrang untuk dialokasikan izinnya menjadi jaring tarik berkantong dan mempermudah dalam proses perizinan.