Dalam proses pemilihan di berbagai level, selalu berakhir adanya pihak yang menang dan yang kalah. Kemenangan adalah karunia dan nikmat besar yang datang dari Allah SWT (QS al-Shaff [61]: 13), sekaligus merupakan hak prerogratif-Nya (QS Ali Imran [3]: 126).
Jika demikian, seseorang yang menang tidak akan jumawa dan yang kalah tidak akan kehilangan arah. Hakikat dari sebuah kemenangan itu adalah kemenangan terhadap yang diharapkan yang di dalamnya terkandung berbagai kebaikan, keberhasilan, dan kelanggengan dalam kenikmatan dan kebaikan. Utamanya, mendapatkan dukungan dari-Nya (takyidullah) dan ridha-Nya.
Kemenangan tidak datang sendirinya. Ia memiliki hukum dan aturan main yang harus dipahami. Calon pemimpin yang dimenangkan tidak akan dapat dikalahkan, meskipun seluruh penduduk bumi bersatu untuk mengalahkannya.
Pun sebaliknya, calon pemimpin yang dikalahkan tidak akan mungkin dapat menang meskipun ia memiliki pendukung yang militan, perlengkapan yang memadai, dan pendanaan melimpah. (lihat QS Ali Imran [3]: 160).
Dengan pemahaman seperti itu akan mengantarkan kepada suasana syukur jika menang dan sabar jika kalah. Sebelum pemilihan sejatinya sudah tertulis, siapa yang akan menang dan yang kalah. Bagiyang meraih kemenangan akan mendapatkan kebaikan dan dukungan dari-Nya. Jika kalah, tidak akan berputus asa, ia tetap berkontribusi untuk kemaslahatan bangsa dan siap dipimpin. Itulah hakikat kemenangan.
Hakikat kekalahan adalah, jika menang menampakkan kesombongan, keangkuhan dan merasa lebih hebat dari yang lain. Jika kalah berputus asa, menyalahkan orang lain, tidak mau berkontribusi untuk kemaslahatan bangsa, tidak siap dipimpin, bahkan mengganggu jalannya kepemimpinan yang sah.
Kemenangan itu tidak diraih secara instan, namun diperlukan suatu proses dan langkah pendukungnya. Paling tidak ada empat langkah dalam upaya meraih kemenangan.
Pertama, menolong agama Allah. Luruskan niat dalam mengikuti proses pemilihan dalam rangka untuk menolong agama Allah SWT. Jaminan bagi yang mau menolong agama-Nya, akan mendapatkan pertolongan-Nya untuk dimenangkan.
Hal ini ditegaskan dalam Alquran surat Muhammad [47] ayat 7.Firman-Nya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Dalam ayat lain, Allah memastikan akan menolong orang yang mau menolong agama-Nya (membela Islam).“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS al-Hajj [22]: 40).
Kedua, persatuan dan kesatuan. Jika start-nya sudah Lillah (ikhlas karena-Nya), maka akan melahirkan kesatuan hati, sikap, dan gerak. Karena itu, kita diperintahkan untuk berpegang teguh dengan tali agama Allah SWT dan jangan pernah bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).
Karena itu, Allah mengingatkan melalui ayat-Nya, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS Ali Imran [3]: 105).
Dan, Allah SWT akan selalu bersama orang-orang yang membangun (berjuang) dalam kebersamaan. Dalam hadis ditegaskan bahwa, “Yadullahi ma’al jama’ah”(tangan Allah bersama jamaah).” (HR Tirmidzi).Bahwa, keruhnya kebersamaan itu masih lebih baik daripada jernihnya dalam kesendirian.
Ketiga, soliditas. Persatuan dan kesatuan yang dibangun atas dasar Lillahitu akanmelahirkan soliditas di antara anggota.Soliditas itu sebuah anugerah, dan hal itu hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman yang istikamah dalam menolong agama-Nya.
“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Anfal [8]: 63).
Soliditas itu akan semakin kokoh jika ditopang dengan aspek ruhiyah. Dan, untuk menghadirkan ruhiyah, antara lain dengan membangun hubungan yang kokoh dengan-Nya (hablum minallah) melalui ibadah malam.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat malam) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu...” (QS al-Muzzammil [73]: 20).
Keempat, efektifitas dalam amal. Upaya itu semua diperlukan sebuah perencanaan yang matang, supayadalam setiap gerak dan langkah yang dilakukan efektifitasnya terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Efektifitas itu akan menghasilkan produktivitas dalam kerja (amal).
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS at-Taubah [9]: 105).
Jika keempat langkah tersebut dapat diwujudkan maka akan dapat mengantarkan kepada kemenangandan tambahan berupa takyidullah (dukungan Allah SWT). Wallahu a’lam.
Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.