Sebuah kebijakan hukum dari seorang Sultan Brunei Darussalam, berhasil menghentak dunia internasional awal April ini. Alasannya, Sultan Hassanal Bolkiah menetapkan sanksi hukum cambuk dan rajam bagi para pelaku LGBT di Brunei Darussalam. Dilansir dari kumparan.com, bukan hanya untuk LGBT, mulai 3 April 2019 pelaku perkosaan, perampokan, serta penistaan Islam juga akan dijatuhi hukuman serupa.
Kebijakan hukum oleh Sultan Brunei ini banyak menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk PBB. Tentu saja selalu atas dalil Hak Asasi Manusia (HAM). Namun alih-alih mundur, pemerintah Brunei tetap memberlakukan kebijakan hukum tersebut tanpa pandang bulu.
Selanjutnya ketika Brunei Darussalam mengumumkan bakal mengadopsi Syariat Islam, komunitas LGBT di negara itu pun secara serta merta mencari cara untuk melarikan diri. Seperti dengan meminta suaka kepada negara lain. Karena salah satu hukum yang akan diterapkan adalah rajam. Gelombang kaum LGBT yang kabur pun menjadi kian deras, seperti dikutip dari cnnindonesia.com.
Dari fakta tersebut, jelas tampak kekhawatiran dan ketakutan terhadap adanya penerapan Syariat Islam. Bukan hanya bagi para pelaku penyimpangan dalam hal ini komunitas LGBT. Tetapi juga dirasakan oleh mereka yang belum memahami tentang Syariat Islam itu sendiri dan terhasut oleh stigma negatif yang disematkan pada aturan Islam.
Di Brunei, Sultan Bolkiah menyatakan bahwa beliau ingin agar ajaran Islam lebih diperkuat lagi di negerinya. Di mana memang sejak Mei 2014, Syariat Islam mulai diterapkan secara bertahap di negara petro Dollar ASEAN tersebut.
Tetapi tentu saja, Syariat Islam sejatinya harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Dalam hal ini, Brunei baru menerapkan sanksi hukumnya saja yang bersifat kuratif. Tetapi upaya preventifnya pun perlu untuk diterapkan.
Mulai dari sistem pendidikan berbasis Islam, serta adanya pembinaan dan sosialisasi kepada setiap warga negara. Sehingga akan tercipta sebuah ketakwaan individu yang ditopang oleh kontrol sosial yang baik dalam masyarakat.
Dengan demikian, para pelaku penyimpangan, termasuk para pelaku LGBT tidak perlu melarikan diri atau mencari suaka ke negara lain. Karena di negaranya mereka tidak serta merta dikenakan sanksi cambuk dan rajam tersebut. Tetapi mereka akan melewati proses pembinaan terlebih dahulu.
Ketika mereka memahami dan berniat untuk kembali kepada jalan yang benar, bertaubat sepenuh hati serta tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya, maka sanksi hukum tentu tidak dikenakan. Tetapi ketika pelaku penyimpangan perilaku alias LGBT ini tak jua bertaubat, maka sanksi hukum tegas harus diberlakukan.
LGBT bukanlah hak asasi manusia. Melainkan penyimpangan kodrat yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Bahkan menurut psikolog, ibu Elly Risman, perilaku penyimpangan LGBT ini, kini telah bermetamorfosa menjadi wabah menular yang mendunia (pandemik).
Maka kondisi ini bukan hanya mengancam generasi, tetapi juga populasi manusia. Inilah akibat yang terjadi, ketika sanksi hukum yang tegas tidak diberlakukan. Tetapi justru dibela atas dasar hak asasi manusia.
Syariat Islam sendiri sesungguhnya memiliki tiga pilar dalam penerapannya, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan Syariat Islam secara menyeluruh oleh negara.
Inilah yang juga harus disosialisasikan kepada seluruh negeri-negeri muslim di dunia. Sehingga stigma negatif daripada Syariat Islam bisa dilenyapkan. Bahwa Syariat Islam itu kejam, tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia. Sama sekali tidak demikian.
Syariat Islam adalah aturan terbaik bagi manusia, bahkan bagi alam semesta. Syariat Islam itu justru memuliakan, mengembalikan makhluk kepada fitrah penciptaannya, memberikan rasa adil dan menjadi rahmat ketika diterapkan secara menyeluruh dan sempurna.
Pengirim: Nur Purnama Indah Puspasari