Publik dikejutkan dengan kabar beredarnya percakapan via grup WA pelajar STM yang diduga melibatkan oknum anggota kepolisian. Tangkapan layar percakapan grup WA itu menyebar luas di media sosial. Polisi kemudian menangkap 7 orang yang diduga pembuat dan admin grup WhatsApp anak STM. (tempo.co, 2/10).
Terlepas dari sedang ditelusurinya kasus ini, namun peristiwa tersebut jelas telah menimbulkan kegaduhan. Publik tentu tidak ingin ada berita bohong yang timbul baik yang mendiskreditkan pelajar STM sebagai generasi penerus bangsa, maupun aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Adanya berita bohong ini dapat menimbulkan kecurigaan terhadap pihak tertentu. Hanya saja bagi pembuat dan penyebarnya tentu harus diberi sanksi, dan korban harus dipulihkan nama baiknya.
Teringat kisah di masa Rasulullah tentang penyebaran berita bohong (ifki) yang merupakan fitnah besar. Kisah ini melibatkan Aisyah r.a. setelah pulang dari penyerangan Bani Mushtaliq. Terpaan berita bohong tersebut menjadi tekanan yang sangat berat bagi keluarga Rasulullah, keluarga Abu Bakar, dan kaum muslimin. Mereka saling bertanya tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sedangkan kaum munafik mendapat angin segar untuk semakin memojokkan kaum muslimin. Aisyah r.a. sendiri saat mengetahui adanya ifki tersebut merasa sangat pilu. Hingga ia berkata sebagaimana perkataan ayah Yusuf, “Maka hanya kesabaran yang baik itulah (kesabaranku) dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (QS. Yusuf: 18).
Ketika itulah Rasulullah menerima wahyu dari Allah yang menjelaskan kesucian Aisyah sekaligus membuka banyak pelajaran yang dipetik oleh kaum muslimin. Kegundahan dan tekanan besar yang sedemikian rupa, telah mengajarkan hanya kepada Allah-lah tempat bersandar dan meminta.
Pada peristiwa ini Allah pun menyeleksi antara golongan orang-orang yang teguh keimanannya dengan golongan orang-orang munafik. Selain itu bagi pelaku yang terbukti membuat ifki tersebut diberlakukan had qadzf (sanksi karena menuduh) yaitu dicambuk 80 kali.
Oleh sebab itu perlu penanganan yang serius terhadap perbuatan-perbuatan semacam ini. Jangan sampai beragam kepentingan tidak lagi mengindahkan halal-haramnya suatu perbuatan. Alangkah indahnya jika keimanan dan ketakwaan terus dikuatkan dari setiap individu yang berpadu erat hingga tingkat masyarakat.
Kemudian negara yang mengayomi dengan menjauhkan nilai-nilai keburukan di setiap pilar kehidupan bangsa. Penegakan hukum yang adil, serta mewujudkan bangunan negara yang kokoh penuh cahaya. Dan insyaa Allah semuanya akan terwujud, jika negeri ini menerapkan hukum dan aturan dalam sistem ketakwaan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Wallahua’lam
Pengirim: Ruruh Anjar, Lampung